Tipologi Berdasar Kedudukan Anak dalam Keluarga
A.
Anak
tiri
Secara asosiatif, bila kita mendengar kata tiri, kita akan selalu
membayangkan adanya kekejaman. Sekalipun asosiasi itu tidak selalu benar.
Sering juga kita melihat adanya kehidupan yang cukup baik sekalipun di dalam
suatu keluarga ada unsur ketirian.
Seorang ibu yang tidak pernah melahirkan anak, yang kemudian di
percaya oleh seorang ayah yang telah ditinggalkan oleh isterinya, mendambakan
kehidupan bahagia bersama anak tirinya. Tetapi sianak tiri, tidak percaya bahwa
ibu itu akan memperlakukannya seperti ibunya sendiri. Anak itu bersikap
memusuhi, menjauhi dan mencurigai. Anak itu tidak rela bahwa kedudukan ibunya
digantikan orang lain. Ia lebih rela bila kedudukan ibunya itu tidak seorangpun
yang menggantikannya, hingga ia mendapatkan kasih sayang dari ayahnya. Ibu tiri
itu telah merenggut kasih sayang atahnya untuknya.
Namun, bagaimanapun kalau yang menduduki tempat tiri itu adalah
anak, lebih-lebih bila anak itu pernah hidup dengan orang tuanya sendiri, maka
kehadiran di tiri akan selalu dicurigai, tidak dipercaya dan selalu akan
dijatuhi olehnya.
Kecurigaan selalu mengikuti perlakuan ayah atau ibu tirinya.
Apalagi bila ia hidup bersama dengan saudara-saudara tirinya.
Mengapa terjadi demikian?
Sebab, semula
anak itu sudah terbiasa dengan sesuatu cara hidup tertentu, dan sianak
mendapatkan kasih sayang secara wajar dari kedua orang tuanya, betapapun
keadaannya. Tetapi dengan kedatangan orang baru (tiri) tentu akan membawa
perubahan didalam tata kehidupan keluarga, merubah tata kehidupan dirasakan
anak sebagai sesuatu yang sukar, yang kadang-kadang memerlukan penyesuaian diri
yang lama sekali bagi anak.
Tetapi dari pihak orang baru, yang dalam kedudukan lebih berhak
memiliki kekuasaan untuk mengatur menghendaki agar aturan itu segera diterima
sehingga hidupnya segera menemukan ketenangan. Kedua hal inilah yang
menyebabkan terjadinya jurang antara anak dan orang tua tiri itu. Dan dalam hal
ini sianak akan segera tersisihkan.
Hal
yang kedua dengan datangnya orang baru itu, dari pihak anak, yang sebenarnya
tidak menghendaki, agar kasih sayang kedua orang tuanya semula tidak terbagi,
tiba-tiba direnggut oleh orang baru tersebut yang di dalam jiwa anak itu di
gambarkan sebagai usaha memutuskan kasih sayang antara ia dan orang tuanya. Perebutan
rasa kasih sayang inilah yang merupakan siksaan sangat besar bagi sianak, sebab
dialah yang merugi dan dia pula yang harus menerima kekalahan secara terpaksa.
Bagaimana sikap anak?
Yang
mudah sekali dan segera dapat kita lihat ada 2 kemungkinan. Anak itu melawan
atau menarik diri dari tali percintaan orang tuanya itu. Yang bersikap melawan
seakan-akan membela ayah/ibunya yang lama, dan yang menarik diri seakan-akan
berlindung kepada ayah atau ibunya yang sebenarnya. Kedua itu dilakukan dalam
angan-angannya maupun perbuatannya sehari-hari dan inilah gangguan yang dialami
anak, sehingga nampak di dalam prestasi kerjanya baik dalam keluarga maupun
dalam sekolah.
Guru yang melihat angka raport muridnya yang turun secara mendadak
akan segera berusaha mencari sebab musababnya, dan yang sering di jumpai ialah
bahwa sebab itu kebanyakan karena anak jatuh sebagai anak tiri.
Bagaimana guru dapat menolong?
Guru
perlu memberitahukan hal itu kepada orang tuanya, dengan mengharap adanya
perbaikan. Sebab pada diri anak masih banyak harapan dari pada orang-orang yang
sudah tua. Karena itu orang tua harus berani berkorban demi anak-anaknya.
Disamping itu guru perlu memberikan saran-saran antara lain,
misalnya sebagai berikut :
a.
Hendaknya
suasana rumah tangga tetap tenang dengan tidak banyak perubahan.
b.
Kepada
anak jangan terlalu ditekan baik dengan ucapan, perlakuan maupun kewajiban,
kecuali belajar.
c.
Kepada
anak perlu mendapat tempat tersendiri untuk belajar.
d.
Keperluan
belajarnya supaya diperhatikan benar-benar.
e.
Berikan
kesempatan seluas-luasnya bila anak ingin mendapatkan fasilitas guna keperluan
belajarnya.
f.
Berikan
dorongan seperlunya dengan cara orang yua (yang bukan tiri) bersikap biasa
seperti sebelum kedatangan orang baru.
Dengan jalan dan saran semacam ini mungkin anak akan segera bangkit
dari kejatuhannya kemudian berkompensasi ataupun dengan cara yang lain untuk
menebus kekalahannya yang lalu.
Akan lebih bijaksana lagi kiranya bila orang tuanya mengirim ke
sekolah yang agak jauh dari keluarga, sesudah anaknya menamatkan SD nya, dengan
membayar pondokan anaknya. Sebab dengan demikian anak akan terbebas dari
suasana rumah tangga yang dirasanya gersang bagi hatinya itu, bebas dari ejekan
teman-temannya, tetangga-tetangganya, dan sebagainya bahwa ia adalah anak tiri,
anak celaka.
B.
Anak
tunggal
Anak tunggal adalah
merupakan tumpuan harapan kedua orang tuanya. Harapan kedua orang tua itu
terpadu, bertumpuk menjadi satu padanya. Harapan tentang apa saja. Harapan akan
kehidupan yang lebih baik, harapan yang akan meneruskan keturunan, harapan akan
tercapainya cita-citanya dan harapan tentang segala-galanya.
Kedua orang tuanya tidak
ada tempat yang lain, kecuali kepadanya. Karena itu kedua orang tuanya sangat
khawatir, sangat ketakutan untuk kehilangan diri anak itu. Karena itu mereka
berusaha melindungi dengan seaman-amannya, memenuhi segala keinginannya,
membiarkan dilakukan semua kehendaknya, menuruti semua keinginannya tapi
melarang anaknya berbuat sesuatu yang berat, yang mengkhawatirkan, yang
membahayakan dan bahkan semua perbuatan dipandang sebagai membahayakan jiwa
anaknya.
Si anak yang dalam
dirinya terdapat kekuatan-kekuatan kodrat untuk berkembang, banyak mendapat
hambatan dari kedua orang tuanya karena rasa takut, khawatir akan bahaya yang
akan menimpa anaknya.
Tetapi seorang orang tua
juga memaksakan perintah-perintah dan larangan-larangan baginya, dengan maksud
agar sianak selalu menuruti kehendaknya, yang menurut pendapatnya tentu akan
memberi keselamatan dan kebahagiaan. Tetapi apa akibatnya?
Karena anak banyak
mendapat hambatan perkembanganny, didalam pergaulan dengan teman-temannya ia
tidak memiliki perbuatan-perbuatan seperti yang dimiliki oleh teman-temannya.
Sikapnya malu-malau, sembunyi-sembunyi, menarik diri dari pergaulan. Ia
merasakan adanya kekurangan pada dirinya dibandingkan dengan teman-temannya.
Karena menarik diri dari teman-temannya, ia makin tidak berkembang dan makin
mengasingkan diri, makin malu-malu.
Di rumah ia diperlakukan kadang-kadang sebagai raja, tetapi
kadang-kadang harus menjadi budak. Dari dua kutub perlakuan ini si anak menjadi
kebingungan. Sikap kebingungan ini bila dibawa dalam pergaulan dengan
teman-temanya, akan dianggap perbuatan yang aneh dan lucu sehingga akan menjadi
beban tertawaan teman-temannya. Untuk menghindari hal tersebut ia bersembunyi,
dan makin bersembunyi anak tersebut makin merasa serba kekurangan, serta tidak
dapat berbuat apa-apa dan demikianlah ia terhanyut didalam lingkaran setan
kehidupan.
Dalam keadaan semacam
ini, bila si orang tua tidak menyadari keadaan anaknya bahkan masih meneruskan
cara memperlakukan anaknya semacam itu si anak akan jatuh dalam bemcana, karena
ia selalu berada dalam dua dunia yang tidak berkeseimbangan satu sama lain sehingga
sering keadaan semacam itu membawa kerusakan urat syarafnya, bahkan kalau si
anak berpembawaan serba lemah, ia mungkin harus mendapat perawatan khusus yang
lebih berat lagi.
Jika si anak berpembawaan
kuat, ketika baru merasakan ada kekurangan pada dirinya dari teman-temannya, ia
mungkin segera berkompensasi sehingga ia tetap berada dalam keseimbangan
sekalipun tidak sewajarnya.
C.
Anak
sulung
Anggapan umum yang kurang benar ialah bahwa anak sulung tentu
membawa beban terberat diantara saudara-saudaranya.
Mengapa umum berpendapat demikian?
Pendapat semacam ini timbul oleh karena secara logika, anak sulung
ini nanti akan mengganti kedudukan orang tua, bila mereka tiada lagi.
Kepadanyalah orang tuanya menyerahkan tanggung jawab untuk kehidupan
keselamatan dan kebahagiaan saudara-saudaranya. Penyerahan tanggung jawab ini
sudah mulai dilatih oleh orangtuanya kepadanya sejak kecil, yaitu ia harus
mengasuh adik-adiknya, menjaganya, mengajaknya bermain, memberinya makan,
mencucikan pakaian, memandikan dan seterusnya.
Dalam banyak hal, ia harus dapat berbuat seperti apa yang diperbuat
orang tuanya kepadanya. Tiap kekeliruan perbuatan adik-adiknya, anak sulung
inilah yang ditegur bahkan yang harus menerima hukumannya. Keberesan
adik-adiknya dengan serta merta diserahkan kepadanya.
Mengapa pendapat umum ini kurang benar?
Kekurang benaran anggapan ini, terletak didalam penyerahan tanggung
jawab orangtua yang terlalu cepat kepada anak sulung ini; sebab pada waktu
siadik lahir, ia masih dalam usia kanak-kanak. Ia belum memiliki sifat
kedewasaan bahkan oleh karena kelahiran adiknya itu ia merasa terampas kasih
sayang orang tuanya terhadapnya, yang mengakibatkan ia harus selalu bersaing
dengan adiknya, dengan jalan berbuat sesuatu agar perhatian orang tuanya yang
memusat kepada adiknya yang direbutnya. Tetapi dalam perbuatan ini anak sulung
sering diminta agar lebih banyak mengalah terhadap adik-adiknya, kadang-kadang
dengan alasan yang sengaja di cari-cari dan lebih merugikan anak sulung.
Dalam hal ini kesanggupan orang tua untuk dapat bertindak
bijaksana, sangat diharapkan misalnya dengan dengan mengusahakan jangan sampai
nampak adanya perbedaan cara bertindak terhadap anak-anaknya, perlakuan tugas
yang adil, pembagian yang rata, penyerahan tugas yang berimbang, pemberian
kesempatan yang sama dan lain sebagainya, sehingga dari anak-anak tidak timbul
prasangka adanya pilih kasih, berat sebelah, tidak adil ataupun kurang
bijaksana.
Kalaupun misalnya orang tua menginginkan agar si kakak harus
menjadi contoh bagi asik-adiknya, orang tua juga harus sudah menjadi contoh
baginya, sehingga sianak dapat mengetahui bahwa sesuatu peraturan, sesuatu
keharusan, memang berlaku sama untuk semua orang.
Kalau sianak sulung menghayati sendiri bahwa orangtua lebih
bersedia berkorban bagi anak-anaknya, orangtua lebih berani mengalah, lebih
berani menderita, lenih berani bekerja berat, dan sebagainya, si anak sulung
akan lebih mudah untuk dapat berkorban, mengalah, ataupun bertindak bijaksana
terhadap adik-adiknya.
Hal-hal inilah yang sering terjadi pada anak sulung dan apabila hal
ini dilakukan sebagaimana mestinya dan tanpa mempercepat waktu dan memperberat
beban, melainkan berlaku dalam keserba wajaran, tentu tidak akan menimbulkan
anggapan-anggapan yang kurang benar didalam masyarakat.
D.
Anak
bungsu
Sebenarnya status bungsu dari orang tua pada seseorang anak, sukar
diramaikan kecuali apabila kedua orangtua itu bersama-sama mengusahakan untuk
tidak mempunyai anak lagi.
Apabila demikian yang terjadi tentulah tidak perlu adanya pemberian
hak yang istimewa kepada anak bungsu.
Dari orangtua kadang-kadang nampak seakan-akan ada hak istimewa
kepada anak bungsu, yaitu apabila orang tua itu mempunyai banyak anak, sehingga
nampak status ekonomi sosialnya menurun. Dengan menurunnya status ekonomi
sosial ini, sianak bungsu dirasakan sebagai anak yang hidup dalam keadaan yang
tidak sama dengan waktu kakak-kakaknya masih kecil dahulu, dan orangtua
mengkhayati hal semacam ini dengan mencurahkan perasaan dengan
perbuatan-perbuatan yang menampakkan lebih menyeyang anaknya.
Dari pihak saudara-saudaranya, yang lebih besar, sianak bungsu ini
pun merasakan adanya perlakuan yang hamper sama dengan yang dilakukan oleh
orang tuanya. Mereka, kakak-kakaknya itu selalu berusaha untuk menyayangkannya,
memanjakannya. Karena sianak itu berada, kakak-kakaknya selalu saling berebut
untuk memikatnya, menolongnya, menggendongnya, membantu dan menyediakan segala
yang diperlukan, menghindarkan apa yang sekiranya akan mendatangkan kesusahan.
Karena terlalu disayang oleh orang tua dan kakak-kakaknya, terlalu
banyak medapatkan perhatian, perawatan, pertolongan, hiburan, maka sianak
bungsu seakan-akan berada di dalam kehidupan yang serba berkecukupan, serba
menyenangkan, serba tersedia dan serba mengenakkan. Semuanya ini memberi
kesempatan kepada anak untuk berlaku manja.
Sikap
manja, akan selalu merugikan diri sendiri. Karena ia tidak akan mempunyai
pengalaman untuk melakukan sesuatu. Padahal dapat melakukan sesuatu, berarti
memiliki pengertian tentang sesuatu itu. Karena tidak dapat melakukan sesuatu,
ia merasa malu terhadap teman-temannya. Untuk menutupi rasa malu itu ia
mengasingkan diri dari teman-temannya. Karena mengasingkan diri, ia kehilangan
kesempatan untuk dapat berbuat yang lain, dank arena itu ia makin jauh
mengasingkan diriya, akhirnya ia tidak dapat berbuat apa-apa.
Bila hal ini terjadi berlarut-larut,
akhirnya nak itu akan jatuh kekeputus asaan.
E.
Anak
pungut
Artinya ia menjadi seorang anak dari sesuatu keluarga karena
dipungut. Dalam hal ini ada beberapa kemungkinan. Apakah anak itu dipungut
sejak masih kecil, ataukan sesudah ia besar. Apakah sepengetahuan orang tuanya
ataukah dari sesuatu perwalian. Hal ini akan berpengaruh juga dalam melakukan
tugas keluarga itu sebagai wali daripada anak itu.
Apabila anak itu dipungut sejak masih kecil, misalnya sejak masih
bayi, biasanya tidak banyak masalalu yang akan dijumpai oleh sipemungut dalam
mendidik anak. Si pemungut masih memiliki kemerdekaan penuh dalam
mengarahkan anaknya itu sesuai dengan
keinginnannya, ia masih dengan mudah menanamkan kebiasaan-kebiasaan dalam
keluarga kepada anak tersebut tanpa banyak menjumpai kesukaran, karena si anak
masih dapat dimisalkan sebagai kertas yang masih bersih. Lain halnya bila anak
dipungut pada waktu sudah besar. Misalnya dari sesuatu yayasan yatim piatu.
Dalam hal ini anak sudah ditanami kebiasan-kebiasan dari yayasan itu, sehingga
sering si pemungut menjumpai kesukaran dalam menanamkan kebiasaan-kebiasaan
yang ia kehendaki.
Mengadakan
perubahan dalam sesuatu kebiasaan bukanlah sesuatu yang ringan.
Untuk itu memerlukan kesabaran, pengertian
dan kesempatan yang agak lama.
Si pemungut dalam hal ini perlu bermula
dari awal, misalnya dengan lebih dahulu membiarkan anak itu berbuat dengan
pola-pola perbuatannya yang lama, sambil meneliti dari celah-celah pola
perbuatan yang lemah, yang dari situ ia dapat memanfaatkan sebaik-baiknya.
Bermula dari sini yang kemudian
ditingkatkan sedikit demi sedikit dengan diberikan pengertian-pengertian
sebagai landasannya, biasanya akan lebih berhasil daripada merubah kebiasan
anak itu secara revolusioner. Sebab dengan jalan yang terakhir ini, anak sering
cenderung memberikan reaksi, dan inilah yang biasanya menjadi sumber
kerenggangan hubungan sosial antara si pemungut dengan anak yang dipungut.
Kesukaran akan lebih besar lagi apabila
setelah anak itu meningkat besar, orangtua anak itu ikut campur tangan dalam
mendidik anak tersebut.
Dalam hal ini diperlukan adanya ketentuan
sikap baik dari pihak anak maupun dari pihak orang tua, dengan pengertian dan
keinsyafan bahwa segala sesuatu itu adalah demi kepentingan hari depan anak
tersebut. Apabila selama dalam perkembangan itu ia tidak mendapatkan pedoman hidup
tertentu dari satu pedoman (betapapun bentuknya) melainkan hanya
terombang-ambing antara dua pedoman hidup, yang tentu saja akan mengalami
kesukaran-kesukaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar