Jumat, 19 Mei 2017

Tipologi Berdasar Kedudukan Anak dalam Keluarga



     Tipologi Berdasar Kedudukan Anak dalam Keluarga
A.    Anak tiri
Secara asosiatif, bila kita mendengar kata tiri, kita akan selalu membayangkan adanya kekejaman. Sekalipun asosiasi itu tidak selalu benar. Sering juga kita melihat adanya kehidupan yang cukup baik sekalipun di dalam suatu keluarga ada unsur ketirian.
Seorang ibu yang tidak pernah melahirkan anak, yang kemudian di percaya oleh seorang ayah yang telah ditinggalkan oleh isterinya, mendambakan kehidupan bahagia bersama anak tirinya. Tetapi sianak tiri, tidak percaya bahwa ibu itu akan memperlakukannya seperti ibunya sendiri. Anak itu bersikap memusuhi, menjauhi dan mencurigai. Anak itu tidak rela bahwa kedudukan ibunya digantikan orang lain. Ia lebih rela bila kedudukan ibunya itu tidak seorangpun yang menggantikannya, hingga ia mendapatkan kasih sayang dari ayahnya. Ibu tiri itu telah merenggut kasih sayang atahnya untuknya.
Namun, bagaimanapun kalau yang menduduki tempat tiri itu adalah anak, lebih-lebih bila anak itu pernah hidup dengan orang tuanya sendiri, maka kehadiran di tiri akan selalu dicurigai, tidak dipercaya dan selalu akan dijatuhi olehnya.
Kecurigaan selalu mengikuti perlakuan ayah atau ibu tirinya. Apalagi bila ia hidup bersama dengan saudara-saudara tirinya.
Mengapa terjadi demikian?
Sebab, semula anak itu sudah terbiasa dengan sesuatu cara hidup tertentu, dan sianak mendapatkan kasih sayang secara wajar dari kedua orang tuanya, betapapun keadaannya. Tetapi dengan kedatangan orang baru (tiri) tentu akan membawa perubahan didalam tata kehidupan keluarga, merubah tata kehidupan dirasakan anak sebagai sesuatu yang sukar, yang kadang-kadang memerlukan penyesuaian diri yang lama sekali bagi anak.
Tetapi dari pihak orang baru, yang dalam kedudukan lebih berhak memiliki kekuasaan untuk mengatur menghendaki agar aturan itu segera diterima sehingga hidupnya segera menemukan ketenangan. Kedua hal inilah yang menyebabkan terjadinya jurang antara anak dan orang tua tiri itu. Dan dalam hal ini sianak akan segera tersisihkan.
Hal yang kedua dengan datangnya orang baru itu, dari pihak anak, yang sebenarnya tidak menghendaki, agar kasih sayang kedua orang tuanya semula tidak terbagi, tiba-tiba direnggut oleh orang baru tersebut yang di dalam jiwa anak itu di gambarkan sebagai usaha memutuskan kasih sayang antara ia dan orang tuanya. Perebutan rasa kasih sayang inilah yang merupakan siksaan sangat besar bagi sianak, sebab dialah yang merugi dan dia pula yang harus menerima kekalahan secara terpaksa.
Bagaimana sikap anak?
Yang mudah sekali dan segera dapat kita lihat ada 2 kemungkinan. Anak itu melawan atau menarik diri dari tali percintaan orang tuanya itu. Yang bersikap melawan seakan-akan membela ayah/ibunya yang lama, dan yang menarik diri seakan-akan berlindung kepada ayah atau ibunya yang sebenarnya. Kedua itu dilakukan dalam angan-angannya maupun perbuatannya sehari-hari dan inilah gangguan yang dialami anak, sehingga nampak di dalam prestasi kerjanya baik dalam keluarga maupun dalam sekolah.
Guru yang melihat angka raport muridnya yang turun secara mendadak akan segera berusaha mencari sebab musababnya, dan yang sering di jumpai ialah bahwa sebab itu kebanyakan karena anak jatuh sebagai anak tiri.
Bagaimana guru dapat menolong?
Guru perlu memberitahukan hal itu kepada orang tuanya, dengan mengharap adanya perbaikan. Sebab pada diri anak masih banyak harapan dari pada orang-orang yang sudah tua. Karena itu orang tua harus berani berkorban demi anak-anaknya.
Disamping itu guru perlu memberikan saran-saran antara lain, misalnya sebagai berikut :
a.       Hendaknya suasana rumah tangga tetap tenang dengan tidak banyak perubahan.
b.      Kepada anak jangan terlalu ditekan baik dengan ucapan, perlakuan maupun kewajiban, kecuali belajar.
c.       Kepada anak perlu mendapat tempat tersendiri untuk belajar.
d.      Keperluan belajarnya supaya diperhatikan benar-benar.
e.       Berikan kesempatan seluas-luasnya bila anak ingin mendapatkan fasilitas guna keperluan belajarnya.
f.       Berikan dorongan seperlunya dengan cara orang yua (yang bukan tiri) bersikap biasa seperti sebelum kedatangan orang baru.
Dengan jalan dan saran semacam ini mungkin anak akan segera bangkit dari kejatuhannya kemudian berkompensasi ataupun dengan cara yang lain untuk menebus kekalahannya yang lalu.
Akan lebih bijaksana lagi kiranya bila orang tuanya mengirim ke sekolah yang agak jauh dari keluarga, sesudah anaknya menamatkan SD nya, dengan membayar pondokan anaknya. Sebab dengan demikian anak akan terbebas dari suasana rumah tangga yang dirasanya gersang bagi hatinya itu, bebas dari ejekan teman-temannya, tetangga-tetangganya, dan sebagainya bahwa ia adalah anak tiri, anak celaka.

B.     Anak tunggal
     Anak tunggal adalah merupakan tumpuan harapan kedua orang tuanya. Harapan kedua orang tua itu terpadu, bertumpuk menjadi satu padanya. Harapan tentang apa saja. Harapan akan kehidupan yang lebih baik, harapan yang akan meneruskan keturunan, harapan akan tercapainya cita-citanya dan harapan tentang segala-galanya.
     Kedua orang tuanya tidak ada tempat yang lain, kecuali kepadanya. Karena itu kedua orang tuanya sangat khawatir, sangat ketakutan untuk kehilangan diri anak itu. Karena itu mereka berusaha melindungi dengan seaman-amannya, memenuhi segala keinginannya, membiarkan dilakukan semua kehendaknya, menuruti semua keinginannya tapi melarang anaknya berbuat sesuatu yang berat, yang mengkhawatirkan, yang membahayakan dan bahkan semua perbuatan dipandang sebagai membahayakan jiwa anaknya.
     Si anak yang dalam dirinya terdapat kekuatan-kekuatan kodrat untuk berkembang, banyak mendapat hambatan dari kedua orang tuanya karena rasa takut, khawatir akan bahaya yang akan menimpa anaknya.
     Tetapi seorang orang tua juga memaksakan perintah-perintah dan larangan-larangan baginya, dengan maksud agar sianak selalu menuruti kehendaknya, yang menurut pendapatnya tentu akan memberi keselamatan dan kebahagiaan. Tetapi apa akibatnya?
     Karena anak banyak mendapat hambatan perkembanganny, didalam pergaulan dengan teman-temannya ia tidak memiliki perbuatan-perbuatan seperti yang dimiliki oleh teman-temannya. Sikapnya malu-malau, sembunyi-sembunyi, menarik diri dari pergaulan. Ia merasakan adanya kekurangan pada dirinya dibandingkan dengan teman-temannya. Karena menarik diri dari teman-temannya, ia makin tidak berkembang dan makin mengasingkan diri, makin malu-malu.
     Di rumah ia diperlakukan kadang-kadang sebagai raja, tetapi kadang-kadang harus menjadi budak. Dari dua kutub perlakuan ini si anak menjadi kebingungan. Sikap kebingungan ini bila dibawa dalam pergaulan dengan teman-temanya, akan dianggap perbuatan yang aneh dan lucu sehingga akan menjadi beban tertawaan teman-temannya. Untuk menghindari hal tersebut ia bersembunyi, dan makin bersembunyi anak tersebut makin merasa serba kekurangan, serta tidak dapat berbuat apa-apa dan demikianlah ia terhanyut didalam lingkaran setan kehidupan.
     Dalam keadaan semacam ini, bila si orang tua tidak menyadari keadaan anaknya bahkan masih meneruskan cara memperlakukan anaknya semacam itu si anak akan jatuh dalam bemcana, karena ia selalu berada dalam dua dunia yang tidak berkeseimbangan satu sama lain sehingga sering keadaan semacam itu membawa kerusakan urat syarafnya, bahkan kalau si anak berpembawaan serba lemah, ia mungkin harus mendapat perawatan khusus yang lebih berat lagi.
     Jika si anak berpembawaan kuat, ketika baru merasakan ada kekurangan pada dirinya dari teman-temannya, ia mungkin segera berkompensasi sehingga ia tetap berada dalam keseimbangan sekalipun tidak sewajarnya.

C.     Anak sulung
Anggapan umum yang kurang benar ialah bahwa anak sulung tentu membawa beban terberat diantara saudara-saudaranya.
Mengapa umum berpendapat demikian?
Pendapat semacam ini timbul oleh karena secara logika, anak sulung ini nanti akan mengganti kedudukan orang tua, bila mereka tiada lagi. Kepadanyalah orang tuanya menyerahkan tanggung jawab untuk kehidupan keselamatan dan kebahagiaan saudara-saudaranya. Penyerahan tanggung jawab ini sudah mulai dilatih oleh orangtuanya kepadanya sejak kecil, yaitu ia harus mengasuh adik-adiknya, menjaganya, mengajaknya bermain, memberinya makan, mencucikan pakaian, memandikan dan seterusnya.
Dalam banyak hal, ia harus dapat berbuat seperti apa yang diperbuat orang tuanya kepadanya. Tiap kekeliruan perbuatan adik-adiknya, anak sulung inilah yang ditegur bahkan yang harus menerima hukumannya. Keberesan adik-adiknya dengan serta merta diserahkan kepadanya.
Mengapa pendapat umum ini kurang benar?
Kekurang benaran anggapan ini, terletak didalam penyerahan tanggung jawab orangtua yang terlalu cepat kepada anak sulung ini; sebab pada waktu siadik lahir, ia masih dalam usia kanak-kanak. Ia belum memiliki sifat kedewasaan bahkan oleh karena kelahiran adiknya itu ia merasa terampas kasih sayang orang tuanya terhadapnya, yang mengakibatkan ia harus selalu bersaing dengan adiknya, dengan jalan berbuat sesuatu agar perhatian orang tuanya yang memusat kepada adiknya yang direbutnya. Tetapi dalam perbuatan ini anak sulung sering diminta agar lebih banyak mengalah terhadap adik-adiknya, kadang-kadang dengan alasan yang sengaja di cari-cari dan lebih merugikan anak sulung.
Dalam hal ini kesanggupan orang tua untuk dapat bertindak bijaksana, sangat diharapkan misalnya dengan dengan mengusahakan jangan sampai nampak adanya perbedaan cara bertindak terhadap anak-anaknya, perlakuan tugas yang adil, pembagian yang rata, penyerahan tugas yang berimbang, pemberian kesempatan yang sama dan lain sebagainya, sehingga dari anak-anak tidak timbul prasangka adanya pilih kasih, berat sebelah, tidak adil ataupun kurang bijaksana.
Kalaupun misalnya orang tua menginginkan agar si kakak harus menjadi contoh bagi asik-adiknya, orang tua juga harus sudah menjadi contoh baginya, sehingga sianak dapat mengetahui bahwa sesuatu peraturan, sesuatu keharusan, memang berlaku sama untuk semua orang.
Kalau sianak sulung menghayati sendiri bahwa orangtua lebih bersedia berkorban bagi anak-anaknya, orangtua lebih berani mengalah, lebih berani menderita, lenih berani bekerja berat, dan sebagainya, si anak sulung akan lebih mudah untuk dapat berkorban, mengalah, ataupun bertindak bijaksana terhadap adik-adiknya.
Hal-hal inilah yang sering terjadi pada anak sulung dan apabila hal ini dilakukan sebagaimana mestinya dan tanpa mempercepat waktu dan memperberat beban, melainkan berlaku dalam keserba wajaran, tentu tidak akan menimbulkan anggapan-anggapan yang kurang benar didalam masyarakat.

D.    Anak bungsu
Sebenarnya status bungsu dari orang tua pada seseorang anak, sukar diramaikan kecuali apabila kedua orangtua itu bersama-sama mengusahakan untuk tidak mempunyai anak lagi.
Apabila demikian yang terjadi tentulah tidak perlu adanya pemberian hak yang istimewa kepada anak bungsu.
Dari orangtua kadang-kadang nampak seakan-akan ada hak istimewa kepada anak bungsu, yaitu apabila orang tua itu mempunyai banyak anak, sehingga nampak status ekonomi sosialnya menurun. Dengan menurunnya status ekonomi sosial ini, sianak bungsu dirasakan sebagai anak yang hidup dalam keadaan yang tidak sama dengan waktu kakak-kakaknya masih kecil dahulu, dan orangtua mengkhayati hal semacam ini dengan mencurahkan perasaan dengan perbuatan-perbuatan yang menampakkan lebih menyeyang anaknya.
Dari pihak saudara-saudaranya, yang lebih besar, sianak bungsu ini pun merasakan adanya perlakuan yang hamper sama dengan yang dilakukan oleh orang tuanya. Mereka, kakak-kakaknya itu selalu berusaha untuk menyayangkannya, memanjakannya. Karena sianak itu berada, kakak-kakaknya selalu saling berebut untuk memikatnya, menolongnya, menggendongnya, membantu dan menyediakan segala yang diperlukan, menghindarkan apa yang sekiranya akan mendatangkan kesusahan.
Karena terlalu disayang oleh orang tua dan kakak-kakaknya, terlalu banyak medapatkan perhatian, perawatan, pertolongan, hiburan, maka sianak bungsu seakan-akan berada di dalam kehidupan yang serba berkecukupan, serba menyenangkan, serba tersedia dan serba mengenakkan. Semuanya ini memberi kesempatan kepada anak untuk berlaku manja.
Sikap manja, akan selalu merugikan diri sendiri. Karena ia tidak akan mempunyai pengalaman untuk melakukan sesuatu. Padahal dapat melakukan sesuatu, berarti memiliki pengertian tentang sesuatu itu. Karena tidak dapat melakukan sesuatu, ia merasa malu terhadap teman-temannya. Untuk menutupi rasa malu itu ia mengasingkan diri dari teman-temannya. Karena mengasingkan diri, ia kehilangan kesempatan untuk dapat berbuat yang lain, dank arena itu ia makin jauh mengasingkan diriya, akhirnya ia tidak dapat berbuat apa-apa.
      Bila hal ini terjadi berlarut-larut, akhirnya nak itu akan jatuh kekeputus asaan.

E.     Anak pungut
Artinya ia menjadi seorang anak dari sesuatu keluarga karena dipungut. Dalam hal ini ada beberapa kemungkinan. Apakah anak itu dipungut sejak masih kecil, ataukan sesudah ia besar. Apakah sepengetahuan orang tuanya ataukah dari sesuatu perwalian. Hal ini akan berpengaruh juga dalam melakukan tugas keluarga itu sebagai wali daripada anak itu.
Apabila anak itu dipungut sejak masih kecil, misalnya sejak masih bayi, biasanya tidak banyak masalalu yang akan dijumpai oleh sipemungut dalam mendidik anak. Si pemungut masih memiliki kemerdekaan penuh dalam mengarahkan  anaknya itu sesuai dengan keinginnannya, ia masih dengan mudah menanamkan kebiasaan-kebiasaan dalam keluarga kepada anak tersebut tanpa banyak menjumpai kesukaran, karena si anak masih dapat dimisalkan sebagai kertas yang masih bersih. Lain halnya bila anak dipungut pada waktu sudah besar. Misalnya dari sesuatu yayasan yatim piatu. Dalam hal ini anak sudah ditanami kebiasan-kebiasan dari yayasan itu, sehingga sering si pemungut menjumpai kesukaran dalam menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang ia kehendaki.
Mengadakan perubahan dalam sesuatu kebiasaan bukanlah sesuatu yang ringan.
      Untuk itu memerlukan kesabaran, pengertian dan kesempatan yang agak lama.
      Si pemungut dalam hal ini perlu bermula dari awal, misalnya dengan lebih dahulu membiarkan anak itu berbuat dengan pola-pola perbuatannya yang lama, sambil meneliti dari celah-celah pola perbuatan yang lemah, yang dari situ ia dapat memanfaatkan sebaik-baiknya.
      Bermula dari sini yang kemudian ditingkatkan sedikit demi sedikit dengan diberikan pengertian-pengertian sebagai landasannya, biasanya akan lebih berhasil daripada merubah kebiasan anak itu secara revolusioner. Sebab dengan jalan yang terakhir ini, anak sering cenderung memberikan reaksi, dan inilah yang biasanya menjadi sumber kerenggangan hubungan sosial antara si pemungut dengan anak yang dipungut.
      Kesukaran akan lebih besar lagi apabila setelah anak itu meningkat besar, orangtua anak itu ikut campur tangan dalam mendidik anak tersebut.
      Dalam hal ini diperlukan adanya ketentuan sikap baik dari pihak anak maupun dari pihak orang tua, dengan pengertian dan keinsyafan bahwa segala sesuatu itu adalah demi kepentingan hari depan anak tersebut. Apabila selama dalam perkembangan itu ia tidak mendapatkan pedoman hidup tertentu dari satu pedoman (betapapun bentuknya) melainkan hanya terombang-ambing antara dua pedoman hidup, yang tentu saja akan mengalami kesukaran-kesukaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar