Kamis, 18 Mei 2017

MURADIF,MUSYTARAK,NASIKH DAN MANSUKH



 Bab I
Pendahuluan

A. Latar Belakang
Dari awal hingga akhir Al-Qur’an merupakan kesatuan yang utuh . Yang tidak bertentangan dengan yang lainnya . Dari segi kejelasan Al-Qur’an sebagai pedoman bagi semua orang.Dan yang kedua hanya Allah yang mengetahui maksud kebenaran dari keseluruhan isi maksudnya.
Dalam Al-Qur’an di jelaskan tentang adanya induk pengertian hunna ummal kitab yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Ketentuan-ketentuan induk itulah yang senantiasa harus menjadi landasan pengertian dan pedoman pengembangan berbagai pengertian , sejalan dengan sistem interpretasi dalam ilmu hukum , hubungan antara ketentuan undang-undang yang hendak ditafsirkan dengan ketentuan-ketentuan lainnya dari undang-undang tersebut maupun undang-undang lainnya yang sejenis , yang harus benar-benar  diperhatikan supaya tidak ada kontradiksi antara satu ayat dengan ayat lain.
Dalam ilmu tafsir para mufasir memberi tempat cukup tinggi terhadap pengertian tiap ayat dalam Al-qur’an . Dengan adanya pembahasan mengenai musytarak, muradif dan nasikh mansukh itu sangat perlu. Agar orang islam dapat mengetahui maksud dan tafsiran antara ayat Al-Qur’an yang dahulu dengan sekarang maupun cara penafsirannya.
Karena sekarang banyak sekali penafsiran yang berbeda-beda maka materi tentang bab ini sangat di perlukan untuk lebih mendalami dalam penafsiran aya-ayat Al-Qur’an tersebut. 

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian musytarak,muradif dan nasikh mansukh itu sendiri?
2. Bagaimana hukum musytarak,muradif dan nasikh mansukh?
3. Apa saja syarat-syarat nasikh dan mansukh?
4. Bagaimana hukum nasikh yang dijalankan dalam masyarakat sekarang?







  Bab II
Pembahasan

A. Muradif dan Musytarak
1. Pengertian Muradif dan Musytarak

Muradif ialah beberapa lafadz yang menunjukan satu arti. Maksudnya lafadznya banyak ,sedang artinya itu satu atau sering disebut sinonim. Sedang musytarak ialah satu lafadz yang menunjukan dua makna atau lebih. Maksudnya satu lafadz mengandung makna yang banyak atau berbeda-beda sering disebut homonim.[1]Apabila lafadz-lafadz musytarak terdapat pada nash syar’i ,bersekutu pada makna lughowi dan makna istilahi, maka orang harus memilih yang di maksud istilah syar’i , seperti lafadz shalat menurut istilah bahasa artnya do’a,dan menurut istilah artinya ibadah tertentu. Firman Tuhan yang berbunyi : Dirikanlah olehmu sembayang. Yang di maksud disini menurut arti syar’i ,ialah ibadat tertentu bukan makna lughowi yang berarti do’a.[2]

2. Contoh Muradif dan Musytarak
Muradif :
اَلْاَسَدُ  dan اَلَّلْيُت  Artinya singa.
Dua lafadz yang berbeda (al-asad dan al-laitsu) tetapi maknanya satu yaitu singa.
Musytarak:
    اَلْقُرُؤْءِ Yang artinya suci atau haidl.
   اَلْجُؤْنُ  Yang artinya putih atau hitam.
Satu lafadz tetapi mempunyai beberapa arti yang berbeda.

3. Hukum Muradif dan Musytarak

a. Hukum Muradif
Para ulama berbeda pendapat,apakah dua lafadz atau lebih yang mempunyai arti sama dapat dipertukarkan dalam pemakaiannya atau tidak . Perbedaan  ini hanya selain dalam Al-Qur’an karena Al-Qur’an adalah mukjizat yang tidak boleh di tukar atau diganti. Sedangkan di luar Al-Qur’an masih diperdebatkan seperti Bacaan, takbiratul ikhram : اللهُ   اَكْبَرُ  Di ganti dengan اللهُ اَجَلٌ  Atauالله عَظِمٌ    Menurut imam maliki tidak boleh ,sedangkan imam syafii membolehkan menganti dengan sama artinya seperti    الله اكبرؤالله اكبر  
Adapun imam hanafi membolehkan menganti dengan yang sama artinya,seperti الله اعظم.Ulama yang tidak boleh beralasan yang karena adanya halangan syar’i yaitu bersifat ta’abudi (menerima apa adanya tidak boleh diubah),sedang yang membolehkan, beralasan karena adanya kesamaan makna dan tidak mengurangi maksud ibadah tersebut.

B. Hukum Musytarak
Jumhur ulama termasuk imam syafi’i ,qodi abu bakar, dan al juba’i berpendapat bahwa pemakaian lafadz musytarak untuk dua atau beberapa makna hukumnya boleh dengan alasan Firman Allah SWT     :
اَلَمْ تَرَاَنَّ اللهَ يَسْجُدُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَ تِ وَ مَنْ فِي اْلاَرْضِ وَالشَمْسُ وَاْلقَمَرُ وَالنُّجُومُ وَاْلجِبَا  لُ وَالشَّجَرُوَالدَّوَابُّ وَكَثِيرٌ مِنَ النَّا سِ
Apakah kamu tidak mengetahui bahwa kepada Allah sujud apa yang ada di langit dan di bumi ,matahari ,bulan,bintang-bintang, gunung-gunung,pohon-pohon,binatang-binatang yang melata dan sebagian besar manusia”.(QS .al-Hajj : 18).
Lafadz  يسجدItu mempunyai dua arti yang sama-sama hakiki yaitu tunduk dan meletakan dahi di bumi . Bagi makhluk yang tidak berakal seperti matahari, bulan,bintang, gunung-gunung, pohon dan binatang melata ,kata sujud berarti tunduk ,tetapi bagi manusia yang berakal sujud berarti meletakan dahi di atas bumi. Apabila arti sujud ini  hanya tunduk maka Allah tidak mengakhiri firmannya dengan كثيرمنالناس  oleh karena itu ,Imam syafi’i mengartikan kata “mulamasah” dalam firman Allah :
اؤلمستمالنساء Dengan arti menyentuh dengan tangan dan menyentuh dengan bersetubuh secara bersama-sama.  
B. Nasikh dan Mansukh
1.  Pengertian Nasikh dan Mansukh
Nasikh menurut bahasa berarti menghapus , memindahkan atau membatalkan ,sedangkan menurut istilah ialah menghapus hukum syara’ yang di tetapkan terdahulu dengan hukum syarak yang datang kemudian.
رُفِعَ حُكْمٌ شَرْ عِيٌّ عَنِ اْلمُكَلَفِ بِحُكْمٍ شَرْ عِىٍّ مِثْلِهِ مَتَأَخِرٍ
Yang membatalkan ( menghapus) disebut Nasikh dan yang dibatalkan (dihapus) disebut Mansukh.
2. Contoh Nasikh dan Mansukh
Seperti penghapusan terhadap keharaman berziarah kubur, dengan sabdah Nabi SAW . Sebagai berikut :
  كُنْتُ هَيْتَكُمْ عَنْ زيَارَةِاْلقُبُؤرِاِلَّافَزُؤْرُؤْهَافَاِنَّهَاتَذْكُرُاْلَاخِرَةِ
Dahulu aku melarang kamu berziarah kubur , sekarang berziarahlah ke kuburan karena hal itu dapat mengingatkan kamu tentang akhirat”. (HR. Musim dan Abu Dawud).
Menurut hadist ini semula ziaroh kubur itu hukumnya haram . Kemudian, untuk sekarang hukum haram berziarah ke kuburan itu ssudah di hapus . Yang menghapus haramnya ziarah kubur adalah  Hadist Nabi sendiri dengan sabdanya الافزوروها .Hukum yang telah di hapuskan disebut Mansukh dan lafad yang telah menghapuskan hukum itu di sebut Nasikh.


3.Dasar Hukum Nasakh
Firman Allah SWT :
مَا نَنْسَحْ مِنْ اَيَةِ اَوْنُنْسِهَا نَأ تِ بِخَيرِ مِنْهَا اَوْ مِثْلِهَا اَلَمْ نَعْلَمْ اَنَّ اللهَ عَلَئ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
“ Ayat mana saja yang kami hapuskan atau kami jadikan (manusia) lupa padanya , kami datangkan uang lebih baik dari padanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”. (QS.al- Baqarah :106 ).
ىمحوالله ما ىشاءوىشبت وعنده ام ااكتب

“ Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan metepkan (apa yang Dia kehendaki ) dan di Sisi-Nyalah terdapat Umumul Kitab (lauh Mahfudz)”.(QS.ar-Ra’d : 39).
4. Syarat-syarat Nasakh
Nasakh harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Yang di nasakh(di batalkan) itu hukum syara’.
2. Pembatalan itu datangnya dari khitbah(tuntunan) syara’.
3. Nasikh harus terpisah dari mansukh.
4. Mansukh tidak terbatas dengan waktu.
5. Nasikh harus lebih kuat atau sama kuatnya dengan mansukh. Misalnya al-Qur’an     dengan Al-qur’an yang sama-sama qath’i.[3]
5. Hukum-hukum Naskh
Dalam melakukan perbaikan masyarakat yang dijalankan nasikh mempunyai dua hukum, yang dijalankan secar kulli(nasikh Kulli )dan  juz’i(nasikh juz’i) :
1.  Nasikh Kulli
Yaitu mensyariatkan yang membatalkan hukum syar’i sebelumnya. Membatalkan keseluruhannya dengan merangkaikan kepada setiap pribadi mukalaf . Seperti membatalkan wajib wasiat kepada ayah,ibu , karib, kerabat, dengan tasyri’ hukum waris. Dan melarang waasia itu kepada orang yang mewaris( si pewaris). Sama halnya dengan membatalkan masa iddah  perempuan yang kematian suami yang tadinya satu haul (tahun) menjadi empat bulan empat hari.
Allah berfirman dalam Al-qur’an , (QS . Al-Baqarah , ayat  240)
Artinya : “ Dan orang-orang yang meninggalkan dunia di antara kamu dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya .yaitu di beri nafkah sampai satu tahun lamanya ,dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya)”.

Sesudah itu  Allah  berfirman kembali dalam (QS.Al-Baqarah , ayat 234)
Artinya : “ Orang-orang yang meninggal diantara-mu ,dengan meninggalkan istri-istri(hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari”.
            
2. Nasikh Juz’i
Yaitu mensyariatkan hukum secara umum , meliputi seluruh pribadi mukalaf , kemudian hukum itu di bataklkan dengan menisbah kepada sbagian ifrad. Atau mensyariatkan hukum itu secara mutlak, kemudian dibatalkan dengan menisbahkan kepada bebrapa hal, maka nasikh itu tidak membatalkan perbuatan itu dengan hukum pertama yang di jadikan dasar . Tapi membatalkannya itu dengan menisbahkannya kepada ifrad atau kepada beberapa hal. Contoh dalam firman Allah surah .... Ayat 4 yang artinya “Dan orang-orang yang menuduh perempuan yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi ,maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera”. Ayat ini menunjukan bahwa orang yang mengkazaf ( menuduh berzina) perempuan yang baik-baik, tidak mengemukakan bukti atss apa yang dituduhkannya itu , maka orang itu harus didera  80 kali dera. Baik yang menuduh suaminya atau orang lain. Kemudian dalam firman Allah surah... Ayat 6 yang artinya “Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina) padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain dari mereka itu sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah . Sesungguhnya ia adalah termasuk orang yang benar.






Ayat ini menunjukan bahwa orang yang mengkazaf itu suaminya, maka ia tidak di dera , tapi dilaknati oleh istrinya itu .
Nash kedua ini menasikhkan hukum kazaf dengan menisbahkan  kepada suaminya saja. Nasikh ini adalah juz’i.[4]




                               


















                                   Bab III
Penutup

Simpulan

l  Muradif ialah beberapa lafadz yang menunjukan satu arti. Maksudnya lafadznya banyak ,sedang artinya itu satu atau sering disebut sinonim.
l  musytarak ialah satu lafadz yang menunjukan dua makna atau lebih. Maksudnya satu lafadz mengandung makna yang banyak atau berbeda-beda sering disebut homonim.
l  Nasikh menurut bahasa berarti menghapus , memindahkan atau membatalkan ,sedangkan menurut istilah ialah menghapus hukum syara’ yang di tetapkan terdahulu dengan hukum syarak yang datang kemudian.
l  Mansukh yaitu yang di batalkan atau di hapus.
l  Syarat-syarat Nasakh sebagai berikut :
1. Yang di nasakh(di batalkan) itu hukum syara’.
2. Pembatalan itu datangnya dari khitbah(tuntunan) syara’.
3. Nasikh harus terpisah dari mansukh.
4. Mansukh tidak terbatas dengan waktu.
5. Nasikh harus lebih kuat atau sama kuatnya dengan mansukh. Misalnya al-Qur’an            dengan Al-qur’an yang sama-sama qath’i.










                         
                            Daftar Pustaka

Khalif Syeh Abdul Wahab , Ilmu Usul Fikih .  Jakarta : Penerbit Rineka Cipta, 1995.
 Thoha Chabib ,Usul Fiqih . jakarta: Penerbit CV.Gani dan Son, 2004

























MURADIF,MUSYTARAK,NASIKH DAN MANSUKH

Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen Pengampu : Abdul Ghoni


Disusun Oleh :
                         Iva Lailatul Badriyah  (1501036084)
                           Luluk Meirawanty  (1501036097)
                            Asna Muyasaroh  (1501036098)
                   Hestin Nursiwi Muslimatun  (1501036099)
                                 Khikmiyati  (1501036100)

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
                                    2016   


[1] Chabib Thoha,Usul Fiqih : Penerbit CV.Gani dan Son, 2004,hal 91.
[2] Syeh Abdul Wahab Khallaf,Ilmu Usul Fikih : Penerbit Rineka Cipta, 1995.Hal 222.
[3] Chabib Thoha,Usul Fiqih : Penerbit CV.Gani dan Son, 2004,hal 91-94.
[4] Syeh Abdul Wahab Khallaf,Ilmu Usul Fikih : Penerbit Rineka Cipta, 1995.Hal 286-287.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar