Kamis, 18 Mei 2017

FIQIH



1.      Pengertian Fiqih
Kata “fiqh” secara etimologis berarti “paham yang mendalam” . bila “paham” dapat digunakan untuk hal-hal yang bersifat lahiriah, maka fiqh berarti paham yang menyampaikan ilmu zhahir kepada ilmu batin. Karena itulah al-Tirmidzi menyebutkan, “fiqh tentang sesuatu,” berarti mengetahui batinnya sampai kepada kedalamnya.
            Kata “faqaha” atau yang berakar kepada kata itu dalam al-Qur’an disebut dalam 20 ayat ;19 di antaranya berarti bentuk tertentu dari kedalaman paham dan kedalaman ilmu yang mlah menyebabkan dapat diambil manfaat darinya.
            Ada pendapat yang mengatakan bahwa “fiqhu” atau paham tidak tidak sama dengan “ilmu” walaupun wazan (timbangan) lafaznya sama. Meskipun belum menjadi ilmu, paham adalah pikiran yang baik dari segi kesiapannya menangkap apa yang dituntut. Ilmu bukanlah   dalam bentuk zhanni seperti paham atau fiqh yang merupakan ilmu tentang hukum yang zhanni  dalam dirinya.
            Secara definitif, fiqh berarti “ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliah yang digali dan ditemukan dari dalil-dalil yang tafsili”.
            Dalam definisi ini, fiqh diibaratkan dengan ilmu karena fiqh itu semacam ilmu pengetahuan. Fiqh adalah apa yang dapat dicapai oleh mujtahid dengan zhannya, sedangkan ilmu tidak bersifat zhanni seperti fiqh.namun karena zhann dalam fiqh ini kuat, maka ia mendekati pada ilmu, karenanya dalam definisi ini ilmu digunakan juga untuk fiqh.
            Kata “hukum” dalam definisi tersebut menjelaskan bahwa hal-hal yang berada di luar apa yang dimaksud dengan kata “hukum”, seperti zat, tidaklah termasuk ke dalam pengertian fiqh. Bentuk jamak dari hukum adalah “ahkam”. Disebut dalam bentuk jamk, adalah untuk menjelaskan bahwa fiqh itu ilmu tentang seperangkat aturan yang disebut hukum.
            Penggunaan kata “syar’iyyah” atau “syari’ah” dalam definisi tersebut menjelaskan bahwa fiqh itu menyangkut ketentuan yang bersifat syar’i, yaitu sesuatu yang berasal dari kehendak Allah.
            Kata “amaliah” yang terdapat dalam definisi definisi di ats menjelaskan bahwa fiqh itu hanya menyangkut tindak tanduk manusia yang bersifat lahiriah. Dengan demikian hal-hal yang bersifat bukan amaliah seperti masalah keimanan atau ‘aqidah tidak termasuk dalam lingkungan fiqh dalam artian ini.
            Penggunaan kata “digali dan ditemukan” mengandung arti bahwa fiqh itu adalah hasil penggalian, penemuan, penganalisaan, dan penentuan ketetapan tentang hukum. Karenanya bila bukan dalam bentuk hasil suatu penggalian seperti mengetahui apa-apa yang secara lahir dan jelas dikatakan Allah tidak disebut fiqh.
            Kata “tafsili” dalam definisi itu menjelaskan tentang dalil-dalil yang digunakan seorang faqih atau mujtahid dalam penggalian dan penemuannya.
AL-Amidi memberikan definisi fiqh yang berbeda dengan definisi di atas, yaitu: “ilmu tentang seperangkat hukum-hukum syara yang bersifat furu’iyah yang berhasil didapatkan melalui penalaran atau istidlal”.
            Kata “furu’iyah” dalam definisi al-Amidi ini menjelaskan bahwa ilmu tentang dalil dan macam-macamnya sebagai hujjah, bukanlah fiqh menurut artian ahli ushul, sekalipun yang diketahui itu adalah hukum yang bersifat nazhari.
            Penggunaan kata “penalaran” dan “istidlal” (yang sama maksudnya dengan “digali”) menurut istilah Ibnu Subki di atas memberikan penjelasan bahwa fiqh itu adalah hasil penalaran dan istidlal. 
            Dengan menganalisa kedua definisi yang disebutkan di atas dapat ditemukan hakikat dari fiqih yaitu:
a)      Fiqh itu adalah ilmu tentang hukum Allah
b)      Yang  dibicarakan adalah hal-hal yang bersifat amaliah furu’iyah
c)      Pengetahuan tentang hukum  Allah itu didasarkan kepada dalil fasili
d)     Fiqh itu digali dan ditmukan melalui penalaran dan istidlal seorang mujtahid atau faqih.
Dengan demikian secara ringkas dapat dikatakan, “fiqh itu adalah dugaan kuat yang dicapai seorang mujtahid dalam usahanya menentukan hukum Allah.”

2.      Pengertian ushul fiqh
Kata “ushul” adalah kata ganda yang terdiri dari kata”ushul” dan kata
“fiqh” . kata “fiqh” secara etimologi berarti “paham yang mendalam” .
Dari arti fiqh secara istilah tersebut dapat dipahami dua bahasan pokok dari ushul fiqh, yaitu bahasan tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat alami dan kedua tentang dalil-dalil tafsili.
Kata “ushul” yang merupakan jamak dari kata “ashal” secara etimologi berarti “sesuatu yang menjadi dasar bagi yang lain”. Arti terminologi ini tidak jauh dari dari definisi dari kata ashal tersebut karena ilmu ushul fiqh itu adalah suatu ilmu yang kepadanya didasarkan “fiqh”. Dengan demikian “ ushul fiqh” secara istilah teknik adalah : “ilmu tentang kaidah-kaidah yang membawa kepada usaha merumuskan hukum syara’ dari dalilnya yang terinci,”  atau dalam artian sederhana adalah : “kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara mengaluarkan hukum-hukum dari dalil-dalilnya”.
Umpamanya dalam kitab-kitab fiqh ditemukan ungkapan, “Mengerjakan shalat itu hukumnya wajib”. Wajibnya melakukan shalat itu disebut “hukum syara”. Tidak pernah tersebut dalam al-qur’an  maupun hadist itu hukumnya wajib. Yang tersebut dalam al-qur’an hanyalah perintah mengerjakan shalat yang berbunyi :

Kerjakanlah shalat.
Ayat al-Qur’an yang mengandung perintah mengerjakan shalat itu disebut “dalil syara’ “. Untuk merumuskan kewajiban shalat yang disebut “hukum syara’ “ dari firman Allah :
Yang disebut “dalil syara’ “ itu ada aturannya dalam bentuk kaidah, umpamanya: “Setiap perintah itu menunjukan wajib” . pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalil syara’ tersebut, itulah yang disebut “ushul fiqh”.
Dari penjelasan sederhana diatas dapat diketahui perbedaan ushul fiqh dan fiqh. Ushul fiqh pedoman atau aturan-aturan yang membatasi dan menjelaskan cara-cara yang harus diketahui oleh seseorang faqih dalam usahanya menggali dan mengeluarkan hukum syara’ yang telah digali dan dirumuskan dari dalil-dalil menurut aturan yang sudah ditentukan itu.

3.      Latar belakang pembukuan ilmu ushul fiqih
a)      Kebutuhan untuk merumuskan maksud fiqih atau hukum islam dalam perkembangan zaman.
b)      Konsekuensi banyaknya kaidah-kaidah ushuliyah di kalangan ulama yang berbeda pendapat dalam memutuskan hukum.
c)      Para ulama memiliki kaidah ushul dan berbeda dalam tafsir dan aplikasinya.
d)     Upaya untuk menjelaskan rujukan dalam ijtihad yang dilakukannya, sekaligus untuk meningkatkan atau menguatkan madzhab yang diikuti oleh seorang ulama.

4.      Perkembangan dan periodesasi Ushul fiqh
Ilmu Ushul fiqh bersamaan munculnya dengan ilmu fiqh meskipun dalam perumusannya ilmu fiqh di lakukan lebih dahulu dari ushul fiqh. Sebenarnya keberadaan fiqh harus didahului oleh ushul fiqh, karena ushul fiqh itu adalah ketentuan atau kaidah yang harus diikuti mujtahid pada waktu menghasilkan fiqh. Namun dalam perumusannya ushul fiqh datang belakangan.
Perumusan fiqh sebenarnya sudah dimulai langsung sesudah Nabi Muhammad wafat, yaitu pada periode sahabat. Pemikiran dalam ushul fiqh telah ada pada waktu perumusan fiqh itu. Para sahabat diantaranya : ‘Umar Ibn Khattab, Ibnu Mas’ud, Ali bin Abi Thallib, umpamannya dalam mengemukakan pendapatnya tentang hukum, sebenarnya sudah menggunakan aturan atau pedoman dalam merumuskan hukum, meskipun secara jelas mereka tidak mengemukakan demikian.
Sewaktu ‘Ali Ibn thalib menetapkan hukuman cambuk sebanyak 80 kali terhadap peminum khamar, beliau berkata, “ Bila ia minum ia akan mabuk dan bila ia mabuk, maka ia akan menuduh orang berbuat zina secara tidak benar, maka kepadanya diberikan sanksi tuduhan berbuat zina.” Dari pernyataan Ali itu akan diketahui bahwa ‘Ali rupanya menggunakan kaidah menutup pintu kejahatan yang akan timbul atau “sad al dzari’ah”.
‘Abdullah Ibn Mas’ud sewaktu mengemukakan pendapatnya tentang wanita hamil yang kematiansuami ‘iddahnya adalah melahirkan anak, mengemukakan argumennya dengan firman Allah dalam surat al-Thalaq (85) ayat 4, meskipun juga ada firman Allah dalam surat al-baqarah (2) yang menjelaskan bahwa isteri yang kematian suami iddahnya empat bulan sepuluh hari.
Dari tindakan Ibn Mas’ud tersebut kelihatan bahwa dalam menetapkan fatwanya itu ia menggunakan kaidah ushul tentang naskh-mansukh, yaitu bahwa dalil yang datang kemudian menasakhkan dalil yang datang terdahulu. Dari contoh di atas kita dapat memahami bahwa para sahabat dalam melakukan ijtihad mengikuti suatu pedoman tertentu meskipun tidak di rumuskan secara jelas.
·         Pada periode tabi’in
Dalam masa tabi’in beberapa orang ulama tabi’in tampil sebagai pemberi fatwa hukum terhadap kejadian yang muncul, umpamanya Sa’id ibn Musayyab di Madinah dan Ibrahimal-Nakha’i di Irak. Jika mereka tidak menemukan jawaban hukum dalam al-Qur’an atau hadist, sebagian mereka mengikuti metoda maslahat dan sebagian mengikuti metoda qiyas. Usaha istinbat yang dilakukan Ibrahim al-Nakha’i dan ulama irak lainnya mengarah pada mengeluarkan ‘illat hukum dari nash dan menerapkannya terhadap peristiwa yang sama yang baru bermunculan kemudian hari.
Abu Hanifah dalam usaha merumuskan fiqhnya menggunakan metoda tersendiri. Ia menetapkan al-qur’an sebagai sumber pokok, kemudian hadits Nabi, berikutnya fatwa sahabat. ia mengambil hukum-hukum yang telah disepakati para sahabat. da;lam hal-hal yang ulama sahabat berbeda pendapat, ia memilih satu diantaranya yang dianggap lebih kuat. Abu Hanifah tidak menggambil pendapat ulama tabi’in sebagai dalil dengan pertimbangan bahwa ulama tabi’in itu berada dalam satu ranking dengannya. Metodanya dalam menggunakan qiyas dan istihsan terlihat nyata sekali.
Imam Malik menempuh metoda ushuli yang lebih jelas menggunakan tradisi yang hidup dikalangan penduduk Madinah, sebagaimana dinyatakan dalam buku dan risalahnya. Terlihat usahanya menolak hadist yang dihubungkan kepada Nabi karena hadits itu menyalahi nash al-Qur’an.
Setelah imam Abu Hanifah dan imam Malik, tampil imam Syafi’i. Ia menemukan dalam masanya perebendaharaan fiqh yang sudah berkembang sejak periode sahabat, tabi’in dan imam-imam lainnya yang telah mendahuluinya. Ia menemukan perbincangan tentang fiqh begitu meriah yang diwarnai diskusi dan polemik yang menarik diantara tokoh-tokoh yang berbeda pendapat. Imam Syafi’i menggali pengalaman dalam berbagai diskusi ditengah pendapat yang berbeda itu. Ia memiliki pengetahuan tentang fiqh maliki yang diterimanya langsung dari imam Malik.ia juga sempat menimba pengetahuan dan pengalaman dari Muhammad ibn Hasan al-Syaibani (murid Abu Hanifah) sewaktu ia berada di Irak.selain itu ia pun mendalami fiqh ulama Mekah tempat ia lahir dan berkemban. Modal pengetahuan dan pengalaman yang luas dan mendalam itu, memberi petunjuk kpd imam Syafi’i untuk meletakan pedoman dan neraca berpikir yang menjelaskan langkah-langkah yang harus dilakukan mujtahid dalam merumuskan hukum dari dalilnya. Metoda berpikir yang dirumuskan imam Syafi’i itulah yang kemudian disebut “ushul fiqh”.
Imam Syafi’i pantas disebut sebagai orang pertama yang menyusun metodologi tentang hukum islam, yang kemudian populer dengan sebutan ushul fiqh sehingga, tidak salah ucapan seseorang orientalis Inggris, N.J Coulsom, yang mengatakan bahwa imam Syafi’i adalah arsitek ilmu fiqih hal ini bukanlah berarti beliau yang merintis dan mengembangkan ilmu tersebut.
Kemampuan imam Syafi.i dalam melahirkan ilmu ushul fiqh ini ditopang beberapa faktor . pengalamannya yang lama di pedesaan Arab memungkinkannya menimba pengetahuan tentang bhs Arab bahkan ia menjadi salah seorang ahli lisan al-Arab . dengan ilmu ini ia memiliki kemampuan yang tinggi dalam merumuskan kaidah untuk mengeluarkan hukum syara’ dari teks al-Qur’an dan hadits yang keduanya berbahasa Arab orisinal. Selama keberadaabnnya di Mekah, imam Syafi’i mewarisi ilmu al-Qur’an dari Abdullah ibn abbas yang memungkinkannya untuk mengenal nasikh-mansukh dalam al-qur’an. Di samping itu ia berkesempatan pula mendalami hadist Nabi dari ulama hadits mengenal kedudukan sunnah bagi al-qur’an sehuinnga beliau dapat menyelesaikan pendapat dan anggapan adanya pertentangan antara al-Qur’an dg hadist Nabi. Penguasaannya yang baik trhadap fiqh aliran tradisionalis (hijaz) dan fiqh aliran rasiomnalis (Irak) merupakan modal dasar penyusunan kaidah – kaidah dalam menggunakan qiyas.Dengan segenap kemampuannya itu, imam syafi’i berhasil menyusun metodologi yang sistematis dalam merumuskan hukum syara’.
Sepeninggal imam Syafi’i pembicaraan ushul fiqh semakin menarik, dan ushul fiqh itu semakin berkembang. Pada dasarnya ulama fiqh pengikut imam mujtahid yang datang kemudian mengikuti dasar-dasar yang sudah disusunimam Syafi’i . dalam pengembangannya terlihat adanya perbedaan arah yang menyebabkan perbedaan ushul fiqh.
Sebagian ulama mengambil sebagian dari pokok-pokok pikiran imam Syafi’i itu dan tidak mengikutinya dalam bagian lain yang bersifat rincian. Kelompok ulama Hanafiyah mengambil sebagian yang dasar-dasarnya diletakkan imam Syafi’i, kemudian mereka menambahkan pemikiran tentang istihsan dan urf’ yang diambil dari imam mereka. Kelompok ulama Makiyah, di samping mengikutu beberapa dasar yang diletakan imam Syafi’i, mereka tidak mengikuti pendaoat Syafi’i yang menolak ijma’ ahli Madinah dan memasukkan tambahan berupa mashlahat mursalah serta prinsip penetapan hukum berdasarkan syad al zarai.
Pada prinsipnya fuqaha mazhab yang empat tidak berbeda dengan dasar yang di tetapkan imam syafi’i tentang openggunaan dalil yang empat, yaitu “ al-Qur’an, Hadits, Ijma dan Qiyas, meskipun dalam kadar penggunaannya perbedaab. Di samping itu masing-masing menggunakan dalil tambahan yang tidak digunakan ulama lainnya.

AL- QUR’AN

·         Pengertian al-Qur’an
Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan oleh allah dengan perantara jibril ke dalam hati Rasulullah Muhammad bin abdullah dengan lafal arab dan makna yang pasti sebagai bukti bagi Rasulullah bahwasanya dia adalah utusan Allah, sebagai undang-undang sekaligus petunjuk bagi manusia, dan sebagai sarana pendekatan (seorang hamba kepada tuhannya) sekaligus sebagai ibadah bila dibaca. Al-Qur’an di susun diantara dua lembar yaitu, diawali dengan surat al Fatihah dan diakhiri surat an Naas, yang sampai kepada kita secara teratur (perowinya tidak terputus) secara tulisan maupun lisan, dari generasi ke generasi, terpelihara dari adanya perubahan dan penggantian yang dibenarkan dengan fifman Allah swt:


Sesungguhnya kami telah menurunkan al Qur’an, dan sesungguhnya kami tetap memeliharanya.” (Qs.al Hijr)
Arti al-Qur’an secara terminologis ditemukan dalam beberapa rumusan definisi sebagai berikut :
1)      Menurut Syaltut, al-Qur’an adalah: “Lafadz Arabi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dinikulkan kepada kita secara mutawatir
2)      Al-Syaukani mengartikan al-Qur’an dengan: “ kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, tertulis dalam mushaf, dinukilkansecara mutawatir”
3)      Definisi al-qur’an  yang dikemukakan abu Zahra ialah :”kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad”
4)      Menurut al-Sarkhisi, al-qur’an adalah: “Kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, ditulis dalam mushaf, diturunkan dengan huruf yang tujuh yang mashur dan dinukilkan secara mutawatir”
5)      Al-Amidi memberikan ta’rif al-qur’an : “Al-Kitab adalah al-qur’an yang diturunkan”.
6)      Ibn Subki mendefinisikan al-qur’an: “Lafaz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, mengandung mu’jizat setiap suratnya, yang beribadah membacanya”.

Dengan menganalisis unsur-unsur setiap definisi di atas dan membandingkan antara satu definisi dengan lainnya, dapat ditarik suatu rumusan mengenai definisi al-Qur’an, yaitu: “lafaz berbahasa Arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang dinukilkan secara mutawatir”
Definisi ini mengandung beberapa unsur yang menjelaskan hakikat al-Qur’an, yaitu:
1)      Al-Qur’an itu berbentuk lafaz. Ini mengandung arti bahwa apa yang disampaikan Allah melalui Jibril kepada Nabi Muhammad SAW dalam bentuk makna dan lafaz oleh Nabi dengan ibaratnya sendiri tidaklah disebut al-Qur’an.
2)      Al-Qur’an itu adalah berbahasa Arab. Ini mengandung arti bahwa al-Qur’an yang dialihbahasakan kepada bahasa lain atau yang diibaratkan dengan bahasa lain bukanlah al-Qur’an. Karenanya shalat yang menggunakan terjemahan al-Qur’an, tidak sah.
3)      Al-Qur’an itu diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Ini mengandung arti bahwa wahyu Allah yang yang disampaikan kepada Nabi-nabi terdahulu tidaklah disebut al-qur’an.
4)      Al-Qur’an itu dinukilkan secara mutawatir. Ayat-ayat yang tidak dinukilkan dalam bentuk mutawatir bukanlah al-Qur’an . karenanya ayat-ayat syazzah atau yang tidak mutawatir penukilannya tidak dapat dijadikan hujjah dalam istinbath hukum.

·         Al-Qr’an berisikan 30 juz , 114 surat atau bab, 6666 ayat, 74.499 kata dan 325.345 suku kata
·         Al-Qur’an pertama kali turun 5ayat pada malam 17 Ramadhan tahun pertama sebelum hijriyahatau pada malam nuzulul qur’an. Adapun lima ayat turun dalam Qs.al-Alaq ayat 1-5.
·         Kandungan al-Qur’an :
Ø  Akidah
Ø  Syari’ah
Ø  Akhlak
Ø  Kisah-kisah masa lampau
Ø  Berita-berita langsung masa yang akan datang
Ø  Benih dan prinsip pengetahuan
Ø  Sunnatullah, yaitu hukum Allah yang berlaku di semesta alam ini.






HADITS
·         Hadist : - Hadits Qudsi – Hadits Nabi
·         Hadits Qudsi adalah Firman Allah yang didasarkan kepada Nabi Muhammad dan redaksinya dari Nabi
·         Hadits Nabi adalah perkataan ,perbuatan, ketetapan Nabi Muhammad SAW
·         Hadits banyak macamnya , dan tidak semua hadits dapat dijadikan sandaran atau landasan hukum islam (hadits shohih dan hadits hasan)

IJMA’
·         Definisi
Ijmak menurut ulama ilmu ushul fikih adalah kesepakatan semua mujtahid muslim pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW. Di atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian.
Apabila ada suatu peristiwa yang pada saat terjadinya diketahui oleh semua mujtahid kemudian mereka semua sepakat memutuskan hukum atas peristiwa tersebut , maka kesepakatan mereka disebut ijmak. Kesepakatan mereka mengenai peristiwa tersebut digunakan sebagai dalil bahwa hukum itu adalah hukum syara’ atas suatu kejadian.
·         Unsur-unsur
Ijmak dianggap sah menurut syara’ bila mencakup empat unsur:
o   Pertama ; ada beberapa mujtahid pada saat terjadinya suatu peristiwa. Klarena jesepakatan tidak mungkin dicapai kecuali dari beberapa pendapat yang saling memiliki kessesuaian.
o   Kedua ; kesepakatan atas hukun syara’ mengenai suatu peristiwa pada saat terjadi oleh seluruyh mujtahid muslim tanpa melihat asal negara, kebangsaan, atau kelompoknya.
o   Ketiga ; kesepakatab mereka diawali dengan pengungkapan pendapat masing-masing mujtahid.
o   Keempat ; kesepakatan itu benar-benar dari seluruh mujtahid dunia islam.

·         Macam-macam ijmak
1)      Ijmak sharih : yaitu para mujtahid pada satu masa itu sepakat atas hukum terhadap suatu kejadian dengan menyampaikan pendapat masing-masing yang diperkuat dengan fatwa atau keputusan,yakni masing-masing mujtahid mengungkapkan pendapatnya dalam bentuk ucapan atau perbuatan yang mencerminkan pendapatnya.
2)      Ijmak sukuti : yaitu mujtahid pada satu masa mengemukakan pendapatnya secara jelas terhadap suatu peristiwa dengan fatwa atau putusan hukum, artinya tidak mengemukakan komentar setuju atau tidak terhadap pendapat yang telah dikemukakan

QIYAS
·         Definisi
Qias menurut istilah , ushul fikih adalah menyamakan suatu hukum dari peristiwa yang tidak memiliki nash hukum dengan peristiwa yang sudah memiliki nash hukum, sebab sama dalam illat hukumnya.
Apabila ada nash yang menunjukan hukum pada suatu peristiwa dan dapat diketahui illatnya hukumnya dengan cara-cara yang digunakan untuk mengetahui hukum illatnya, maka hukum kedua masalah itu disamakan sebab memiliki kesaan dalam hal illat hukum.
Berikut ini contoh qias :
Ø  Pencurian oleh (anggota keluarga), antara orang tua dan anak atau suami istri menurut undang-undang pidana, pelakunya tidak boleh dihukum kecuali atas tuntutan korban. Hukum dan illat seperti perbuatan seperti ghasab, merampas harta, mengeluarkan cek kosong dan kriminal pemaksaan, disamakan dengan pencvurian karena hubungan kekerabatan dan suami istri.

·         Alasan ulama yang menolak qiyas
1)      Di antara alasan yang paling kuat adalah pendapat mereka bahwa qias itu didasarkan pada dugaan, yakni illat hukum nash itu begini. Padahal suatu yang didasarkan pada dugaan maka hasilnya adalah dugaan.
2)      Pendapat mereka bahwa qias didasarkan pada perbedaan pandangan dalam menentukan illat hukum, dan hal itu adalah sumber perbedaan dan pertentangan hukum. Sedangkan di antara hukum-hukum syara’ yang bijaksana ini tidak ada pertentangan.
3)      Ungkapan yang mereka terima dari sebagian sahabat yang mencela pendapat pribadi pendapat hukum dengan pendaoat pribadi.

·         Unsur-unsur qias
1)      Al ashlu,  kejadian yang hukumnya disebutkan dalam nash
2)      Al Fa’ru, kejadian yang hukumnya tidak disebutkan dalam nash, maksudnya adalah untuk disamakan dengan al-ashlu dalam hukumnya.
3)      Al Hukmul Ashliy, hukum syara yang dibawa oleh nash dalam masalah asal. Tujuannya adalah menjadi hukum dasar bagi masalah baru.
4)      Al ‘illah, alasan yang dijadikan dasar oleh hukum asal, yang berdasarkan adanya illat itu pada masalah baru maka masalah itu disamakan dengan masalah asal dalam hukum.








HUKUM ISALAM

·         Hukum adalah menetapkan sesuatu pada yang lain
·         Ulama ushul fikih Abu Zahrah, Hukum adalah : “kitab syar’i yagng berkaitan dengan mukallaf, baik berupa tuntunan, pilihan atau wadh’i.
·         Contoh tuntunan terdapat pada Qs 47:11 yang artinya :
“ yang demikian itu karena Allah pelindung bagi orang-orang yang beriman, sedang orang-orang kafir tidak ada pelindung bagi mereka”.
·         Contoh pilihan  terdapat dalam Qs. Al-Baqarah : 229 , yang artinya :
“ Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (setelah itu suami dapat) menahan dengan baik atau melepaskan dengan baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan istri) khawatir tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, maka itulah orang-orang dzalim”.
·         Contoh wadh’i : membunuh ahli waris.

v  Kedudukan hukum islam
Ø  Qs. An-Nisa : 105
“ sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu dapat menetapkan hukum kepada manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu”.
v  Tujuan hukum islam
Ø  “Mewujudkan kebaikan bagi kehidupan manusia”
v  Macam-macam hukum :
Ø  Hukum Taklifi
Adalah hukum yang menuntut kepada mukallaf untuk berbuat, menuntut untuk tidak berbuet atau menghendaki mukallaf memilih antara berbuat atau tidak.
Hukum taklifi mengandung paksaan kepada mukallaf untuk berbuat, tidak berbuat atau memilih untuk berbuat atau tidak. Alasan pemberian nama itu sudah jelas dalam hal tuntutan kepada mukallaf untuk berbuat atau tidak berbuat. Sedangkan untuk pilihan, pemberian nama itu tidak jelas, karena dalam hal ini tidak ada paksaan. Oleh karena itu ulama ushul mengatakan, “pemberian nama hukum taklifi adalah secara “Taghlib”. Yakni mengalahkan salah satu diantara dua atau beberapa hal.
Ø  Hukum Takhyiri
Adalah ketentuan hukum yang membolehkan
Ø  Hukum Wdh’i
Adalah ketentuan hukum syar’i yang wajib di taati dengan baik, karena terwujudnya perbuatan-perbuatan taklif lain yang terkait langsung dengan ketentuan-ketentuan wadh’i tersebut.
      Hukum –hukum bisa disebut wadh’i karena bentuknya adalah meletakkan sebab untuk suatu akibat, meletakkan syarat kepada yang disyarati dan meletakkan penghalang bagi hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar