1.
Pengertian
Fiqih
Kata “fiqh” secara etimologis berarti “paham yang mendalam”
. bila “paham” dapat digunakan untuk hal-hal yang bersifat lahiriah, maka fiqh
berarti paham yang menyampaikan ilmu zhahir kepada ilmu batin. Karena itulah
al-Tirmidzi menyebutkan, “fiqh tentang sesuatu,” berarti mengetahui batinnya
sampai kepada kedalamnya.
Kata “faqaha” atau
yang berakar kepada kata itu dalam al-Qur’an disebut dalam 20 ayat ;19 di
antaranya berarti bentuk tertentu dari kedalaman paham dan kedalaman ilmu yang
mlah menyebabkan dapat diambil manfaat darinya.
Ada pendapat yang
mengatakan bahwa “fiqhu” atau paham tidak tidak sama dengan “ilmu”
walaupun wazan (timbangan) lafaznya sama. Meskipun belum menjadi ilmu,
paham adalah pikiran yang baik dari segi kesiapannya menangkap apa yang
dituntut. Ilmu bukanlah dalam bentuk zhanni
seperti paham atau fiqh yang merupakan ilmu tentang hukum yang zhanni dalam dirinya.
Secara definitif,
fiqh berarti “ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliah yang
digali dan ditemukan dari dalil-dalil yang tafsili”.
Dalam definisi
ini, fiqh diibaratkan dengan ilmu karena fiqh itu semacam ilmu pengetahuan.
Fiqh adalah apa yang dapat dicapai oleh mujtahid dengan zhannya,
sedangkan ilmu tidak bersifat zhanni seperti fiqh.namun karena zhann dalam
fiqh ini kuat, maka ia mendekati pada ilmu, karenanya dalam definisi ini ilmu
digunakan juga untuk fiqh.
Kata “hukum” dalam
definisi tersebut menjelaskan bahwa hal-hal yang berada di luar apa yang
dimaksud dengan kata “hukum”, seperti zat, tidaklah termasuk ke dalam
pengertian fiqh. Bentuk jamak dari hukum adalah “ahkam”. Disebut dalam bentuk
jamk, adalah untuk menjelaskan bahwa fiqh itu ilmu tentang seperangkat aturan
yang disebut hukum.
Penggunaan kata
“syar’iyyah” atau “syari’ah” dalam definisi tersebut menjelaskan bahwa fiqh itu
menyangkut ketentuan yang bersifat syar’i, yaitu sesuatu yang berasal dari
kehendak Allah.
Kata “amaliah”
yang terdapat dalam definisi definisi di ats menjelaskan bahwa fiqh itu hanya
menyangkut tindak tanduk manusia yang bersifat lahiriah. Dengan demikian
hal-hal yang bersifat bukan amaliah seperti masalah keimanan atau ‘aqidah tidak
termasuk dalam lingkungan fiqh dalam artian ini.
Penggunaan kata
“digali dan ditemukan” mengandung arti bahwa fiqh itu adalah hasil penggalian,
penemuan, penganalisaan, dan penentuan ketetapan tentang hukum. Karenanya bila
bukan dalam bentuk hasil suatu penggalian seperti mengetahui apa-apa yang
secara lahir dan jelas dikatakan Allah tidak disebut fiqh.
Kata “tafsili”
dalam definisi itu menjelaskan tentang dalil-dalil yang digunakan seorang faqih
atau mujtahid dalam penggalian dan penemuannya.
AL-Amidi memberikan
definisi fiqh yang berbeda dengan definisi di atas, yaitu: “ilmu tentang
seperangkat hukum-hukum syara yang bersifat furu’iyah yang berhasil didapatkan
melalui penalaran atau istidlal”.
Kata “furu’iyah”
dalam definisi al-Amidi ini menjelaskan bahwa ilmu tentang dalil dan
macam-macamnya sebagai hujjah, bukanlah fiqh menurut artian ahli ushul,
sekalipun yang diketahui itu adalah hukum yang bersifat nazhari.
Penggunaan kata “penalaran” dan “istidlal” (yang sama maksudnya
dengan “digali”) menurut istilah Ibnu Subki di atas memberikan penjelasan bahwa
fiqh itu adalah hasil penalaran dan istidlal.
Dengan menganalisa
kedua definisi yang disebutkan di atas dapat ditemukan hakikat dari fiqih
yaitu:
a)
Fiqh itu adalah
ilmu tentang hukum Allah
b)
Yang dibicarakan adalah hal-hal yang bersifat
amaliah furu’iyah
c)
Pengetahuan
tentang hukum Allah itu didasarkan
kepada dalil fasili
d)
Fiqh itu digali
dan ditmukan melalui penalaran dan istidlal seorang mujtahid atau faqih.
Dengan demikian secara ringkas dapat dikatakan, “fiqh itu adalah
dugaan kuat yang dicapai seorang mujtahid dalam usahanya menentukan hukum
Allah.”
2.
Pengertian
ushul fiqh
Kata “ushul” adalah kata ganda yang terdiri dari kata”ushul” dan
kata
“fiqh” . kata “fiqh” secara etimologi berarti “paham yang mendalam” .
“fiqh” . kata “fiqh” secara etimologi berarti “paham yang mendalam” .
Dari arti fiqh secara istilah tersebut dapat dipahami dua bahasan
pokok dari ushul fiqh, yaitu bahasan tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat
alami dan kedua tentang dalil-dalil tafsili.
Kata “ushul” yang merupakan jamak dari kata “ashal” secara
etimologi berarti “sesuatu yang menjadi dasar bagi yang lain”. Arti terminologi
ini tidak jauh dari dari definisi dari kata ashal tersebut karena ilmu ushul
fiqh itu adalah suatu ilmu yang kepadanya didasarkan “fiqh”. Dengan demikian “
ushul fiqh” secara istilah teknik adalah : “ilmu tentang kaidah-kaidah yang
membawa kepada usaha merumuskan hukum syara’ dari dalilnya yang terinci,” atau dalam artian sederhana adalah : “kaidah-kaidah
yang menjelaskan cara-cara mengaluarkan hukum-hukum dari dalil-dalilnya”.
Umpamanya dalam kitab-kitab fiqh ditemukan ungkapan, “Mengerjakan
shalat itu hukumnya wajib”. Wajibnya melakukan shalat itu disebut “hukum
syara”. Tidak pernah tersebut dalam al-qur’an
maupun hadist itu hukumnya wajib. Yang tersebut dalam al-qur’an hanyalah
perintah mengerjakan shalat yang berbunyi :
Kerjakanlah shalat.
Ayat al-Qur’an yang mengandung perintah mengerjakan shalat itu
disebut “dalil syara’ “. Untuk merumuskan kewajiban shalat yang disebut “hukum
syara’ “ dari firman Allah :
Yang disebut “dalil syara’ “ itu ada aturannya dalam bentuk kaidah,
umpamanya: “Setiap perintah itu menunjukan wajib” . pengetahuan tentang
kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalil
syara’ tersebut, itulah yang disebut “ushul fiqh”.
Dari penjelasan sederhana diatas dapat diketahui perbedaan ushul
fiqh dan fiqh. Ushul fiqh pedoman atau aturan-aturan yang membatasi dan
menjelaskan cara-cara yang harus diketahui oleh seseorang faqih dalam usahanya
menggali dan mengeluarkan hukum syara’ yang telah digali dan dirumuskan dari
dalil-dalil menurut aturan yang sudah ditentukan itu.
3.
Latar belakang
pembukuan ilmu ushul fiqih
a)
Kebutuhan untuk
merumuskan maksud fiqih atau hukum islam dalam perkembangan zaman.
b)
Konsekuensi
banyaknya kaidah-kaidah ushuliyah di kalangan ulama yang berbeda pendapat dalam
memutuskan hukum.
c)
Para ulama
memiliki kaidah ushul dan berbeda dalam tafsir dan aplikasinya.
d)
Upaya untuk
menjelaskan rujukan dalam ijtihad yang dilakukannya, sekaligus untuk
meningkatkan atau menguatkan madzhab yang diikuti oleh seorang ulama.
4.
Perkembangan
dan periodesasi Ushul fiqh
Ilmu Ushul fiqh bersamaan munculnya dengan ilmu fiqh meskipun dalam
perumusannya ilmu fiqh di lakukan lebih dahulu dari ushul fiqh. Sebenarnya
keberadaan fiqh harus didahului oleh ushul fiqh, karena ushul fiqh itu adalah
ketentuan atau kaidah yang harus diikuti mujtahid pada waktu menghasilkan fiqh.
Namun dalam perumusannya ushul fiqh datang belakangan.
Perumusan fiqh sebenarnya sudah dimulai langsung sesudah Nabi
Muhammad wafat, yaitu pada periode sahabat. Pemikiran dalam ushul fiqh telah
ada pada waktu perumusan fiqh itu. Para sahabat diantaranya : ‘Umar Ibn
Khattab, Ibnu Mas’ud, Ali bin Abi Thallib, umpamannya dalam mengemukakan
pendapatnya tentang hukum, sebenarnya sudah menggunakan aturan atau pedoman
dalam merumuskan hukum, meskipun secara jelas mereka tidak mengemukakan
demikian.
Sewaktu ‘Ali Ibn thalib menetapkan hukuman cambuk sebanyak 80 kali
terhadap peminum khamar, beliau berkata, “ Bila ia minum ia akan mabuk dan bila
ia mabuk, maka ia akan menuduh orang berbuat zina secara tidak benar, maka
kepadanya diberikan sanksi tuduhan berbuat zina.” Dari pernyataan Ali itu akan
diketahui bahwa ‘Ali rupanya menggunakan kaidah menutup pintu kejahatan yang
akan timbul atau “sad al dzari’ah”.
‘Abdullah Ibn Mas’ud sewaktu mengemukakan pendapatnya tentang
wanita hamil yang kematiansuami ‘iddahnya adalah melahirkan anak, mengemukakan
argumennya dengan firman Allah dalam surat al-Thalaq (85) ayat 4,
meskipun juga ada firman Allah dalam surat al-baqarah (2) yang
menjelaskan bahwa isteri yang kematian suami iddahnya empat bulan sepuluh hari.
Dari tindakan Ibn Mas’ud tersebut kelihatan bahwa dalam menetapkan
fatwanya itu ia menggunakan kaidah ushul tentang naskh-mansukh, yaitu
bahwa dalil yang datang kemudian menasakhkan dalil yang datang terdahulu. Dari
contoh di atas kita dapat memahami bahwa para sahabat dalam melakukan ijtihad
mengikuti suatu pedoman tertentu meskipun tidak di rumuskan secara jelas.
·
Pada periode
tabi’in
Dalam masa tabi’in beberapa orang ulama tabi’in tampil sebagai pemberi
fatwa hukum terhadap kejadian yang muncul, umpamanya Sa’id ibn Musayyab di
Madinah dan Ibrahimal-Nakha’i di Irak. Jika mereka tidak menemukan jawaban
hukum dalam al-Qur’an atau hadist, sebagian mereka mengikuti metoda maslahat
dan sebagian mengikuti metoda qiyas. Usaha istinbat yang dilakukan
Ibrahim al-Nakha’i dan ulama irak lainnya mengarah pada mengeluarkan ‘illat
hukum dari nash dan menerapkannya terhadap peristiwa yang sama yang baru
bermunculan kemudian hari.
Abu Hanifah dalam usaha
merumuskan fiqhnya menggunakan metoda tersendiri. Ia menetapkan al-qur’an
sebagai sumber pokok, kemudian hadits Nabi, berikutnya fatwa sahabat. ia
mengambil hukum-hukum yang telah disepakati para sahabat. da;lam hal-hal yang
ulama sahabat berbeda pendapat, ia memilih satu diantaranya yang dianggap lebih
kuat. Abu Hanifah tidak menggambil pendapat ulama tabi’in sebagai dalil dengan
pertimbangan bahwa ulama tabi’in itu berada dalam satu ranking dengannya. Metodanya
dalam menggunakan qiyas dan istihsan terlihat nyata sekali.
Imam Malik menempuh
metoda ushuli yang lebih jelas menggunakan tradisi yang hidup dikalangan
penduduk Madinah, sebagaimana dinyatakan dalam buku dan risalahnya. Terlihat
usahanya menolak hadist yang dihubungkan kepada Nabi karena hadits itu
menyalahi nash al-Qur’an.
Setelah imam Abu Hanifah dan imam Malik, tampil imam Syafi’i.
Ia menemukan dalam masanya perebendaharaan fiqh yang sudah berkembang sejak
periode sahabat, tabi’in dan imam-imam lainnya yang telah mendahuluinya. Ia
menemukan perbincangan tentang fiqh begitu meriah yang diwarnai diskusi dan
polemik yang menarik diantara tokoh-tokoh yang berbeda pendapat. Imam Syafi’i
menggali pengalaman dalam berbagai diskusi ditengah pendapat yang berbeda itu.
Ia memiliki pengetahuan tentang fiqh maliki yang diterimanya langsung dari imam
Malik.ia juga sempat menimba pengetahuan dan pengalaman dari Muhammad ibn Hasan
al-Syaibani (murid Abu Hanifah) sewaktu ia berada di Irak.selain itu ia pun
mendalami fiqh ulama Mekah tempat ia lahir dan berkemban. Modal pengetahuan dan
pengalaman yang luas dan mendalam itu, memberi petunjuk kpd imam Syafi’i untuk
meletakan pedoman dan neraca berpikir yang menjelaskan langkah-langkah yang
harus dilakukan mujtahid dalam merumuskan hukum dari dalilnya. Metoda berpikir
yang dirumuskan imam Syafi’i itulah yang kemudian disebut “ushul fiqh”.
Imam Syafi’i pantas disebut
sebagai orang pertama yang menyusun metodologi tentang hukum islam, yang
kemudian populer dengan sebutan ushul fiqh sehingga, tidak salah ucapan
seseorang orientalis Inggris, N.J Coulsom, yang mengatakan bahwa imam Syafi’i
adalah arsitek ilmu fiqih hal ini bukanlah berarti beliau yang merintis dan
mengembangkan ilmu tersebut.
Kemampuan imam Syafi.i dalam melahirkan ilmu ushul fiqh ini
ditopang beberapa faktor . pengalamannya yang lama di pedesaan Arab
memungkinkannya menimba pengetahuan tentang bhs Arab bahkan ia menjadi salah
seorang ahli lisan al-Arab . dengan ilmu ini ia memiliki kemampuan yang
tinggi dalam merumuskan kaidah untuk mengeluarkan hukum syara’ dari teks
al-Qur’an dan hadits yang keduanya berbahasa Arab orisinal. Selama keberadaabnnya
di Mekah, imam Syafi’i mewarisi ilmu al-Qur’an dari Abdullah ibn abbas yang
memungkinkannya untuk mengenal nasikh-mansukh dalam al-qur’an. Di
samping itu ia berkesempatan pula mendalami hadist Nabi dari ulama hadits
mengenal kedudukan sunnah bagi al-qur’an sehuinnga beliau dapat menyelesaikan
pendapat dan anggapan adanya pertentangan antara al-Qur’an dg hadist Nabi.
Penguasaannya yang baik trhadap fiqh aliran tradisionalis (hijaz) dan fiqh
aliran rasiomnalis (Irak) merupakan modal dasar penyusunan kaidah – kaidah
dalam menggunakan qiyas.Dengan segenap kemampuannya itu, imam syafi’i
berhasil menyusun metodologi yang sistematis dalam merumuskan hukum syara’.
Sepeninggal imam Syafi’i pembicaraan ushul fiqh semakin menarik,
dan ushul fiqh itu semakin berkembang. Pada dasarnya ulama fiqh pengikut imam
mujtahid yang datang kemudian mengikuti dasar-dasar yang sudah disusunimam
Syafi’i . dalam pengembangannya terlihat adanya perbedaan arah yang menyebabkan
perbedaan ushul fiqh.
Sebagian ulama mengambil sebagian dari pokok-pokok pikiran imam
Syafi’i itu dan tidak mengikutinya dalam bagian lain yang bersifat rincian.
Kelompok ulama Hanafiyah mengambil sebagian yang dasar-dasarnya diletakkan imam
Syafi’i, kemudian mereka menambahkan pemikiran tentang istihsan dan urf’ yang
diambil dari imam mereka. Kelompok ulama Makiyah, di samping mengikutu beberapa
dasar yang diletakan imam Syafi’i, mereka tidak mengikuti pendaoat Syafi’i yang
menolak ijma’ ahli Madinah dan memasukkan tambahan berupa mashlahat
mursalah serta prinsip penetapan hukum berdasarkan syad al zarai.
Pada prinsipnya fuqaha mazhab yang empat tidak berbeda dengan dasar
yang di tetapkan imam syafi’i tentang openggunaan dalil yang empat, yaitu “
al-Qur’an, Hadits, Ijma dan Qiyas, meskipun dalam kadar penggunaannya
perbedaab. Di samping itu masing-masing menggunakan dalil tambahan yang tidak
digunakan ulama lainnya.
AL-
QUR’AN
·
Pengertian
al-Qur’an
Al-Qur’an
adalah firman Allah yang diturunkan oleh allah dengan perantara jibril ke dalam
hati Rasulullah Muhammad bin abdullah dengan lafal arab dan makna yang pasti
sebagai bukti bagi Rasulullah bahwasanya dia adalah utusan Allah, sebagai
undang-undang sekaligus petunjuk bagi manusia, dan sebagai sarana pendekatan
(seorang hamba kepada tuhannya) sekaligus sebagai ibadah bila dibaca. Al-Qur’an
di susun diantara dua lembar yaitu, diawali dengan surat al Fatihah dan
diakhiri surat an Naas, yang sampai kepada kita secara teratur (perowinya tidak
terputus) secara tulisan maupun lisan, dari generasi ke generasi, terpelihara
dari adanya perubahan dan penggantian yang dibenarkan dengan fifman Allah swt:
Sesungguhnya
kami telah menurunkan al Qur’an, dan sesungguhnya kami tetap memeliharanya.”
(Qs.al Hijr)
Arti
al-Qur’an secara terminologis ditemukan dalam beberapa rumusan definisi sebagai
berikut :
1)
Menurut Syaltut, al-Qur’an adalah: “Lafadz Arabi yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW, dinikulkan kepada kita secara mutawatir
2)
Al-Syaukani
mengartikan al-Qur’an dengan: “ kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad Saw, tertulis dalam mushaf, dinukilkansecara mutawatir”
3)
Definisi
al-qur’an yang dikemukakan abu Zahra
ialah :”kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad”
4)
Menurut al-Sarkhisi,
al-qur’an adalah: “Kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, ditulis
dalam mushaf, diturunkan dengan huruf yang tujuh yang mashur dan dinukilkan
secara mutawatir”
5)
Al-Amidi memberikan ta’rif al-qur’an : “Al-Kitab adalah al-qur’an yang diturunkan”.
6)
Ibn Subki mendefinisikan al-qur’an: “Lafaz yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW, mengandung mu’jizat setiap suratnya, yang beribadah membacanya”.
Dengan menganalisis unsur-unsur setiap definisi di atas dan
membandingkan antara satu definisi dengan lainnya, dapat ditarik suatu rumusan
mengenai definisi al-Qur’an, yaitu: “lafaz berbahasa Arab yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW, yang dinukilkan secara mutawatir”
Definisi ini mengandung beberapa unsur yang menjelaskan hakikat
al-Qur’an, yaitu:
1)
Al-Qur’an itu
berbentuk lafaz. Ini mengandung arti bahwa apa yang disampaikan Allah melalui
Jibril kepada Nabi Muhammad SAW dalam bentuk makna dan lafaz oleh Nabi dengan
ibaratnya sendiri tidaklah disebut al-Qur’an.
2)
Al-Qur’an itu
adalah berbahasa Arab. Ini mengandung arti bahwa al-Qur’an yang dialihbahasakan
kepada bahasa lain atau yang diibaratkan dengan bahasa lain bukanlah al-Qur’an.
Karenanya shalat yang menggunakan terjemahan al-Qur’an, tidak sah.
3)
Al-Qur’an itu
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Ini mengandung arti bahwa wahyu Allah yang
yang disampaikan kepada Nabi-nabi terdahulu tidaklah disebut al-qur’an.
4)
Al-Qur’an itu
dinukilkan secara mutawatir. Ayat-ayat yang tidak dinukilkan dalam
bentuk mutawatir bukanlah al-Qur’an . karenanya ayat-ayat syazzah atau
yang tidak mutawatir penukilannya tidak dapat dijadikan hujjah dalam
istinbath hukum.
·
Al-Qr’an
berisikan 30 juz , 114 surat atau bab, 6666 ayat, 74.499 kata dan 325.345 suku
kata
·
Al-Qur’an
pertama kali turun 5ayat pada malam 17 Ramadhan tahun pertama sebelum
hijriyahatau pada malam nuzulul qur’an. Adapun lima ayat turun dalam Qs.al-Alaq
ayat 1-5.
·
Kandungan
al-Qur’an :
Ø Akidah
Ø Syari’ah
Ø Akhlak
Ø Kisah-kisah masa lampau
Ø Berita-berita langsung masa yang akan datang
Ø Benih dan prinsip pengetahuan
Ø Sunnatullah, yaitu hukum Allah yang berlaku di semesta alam ini.
HADITS
·
Hadist : -
Hadits Qudsi – Hadits Nabi
·
Hadits Qudsi
adalah Firman Allah yang didasarkan kepada Nabi Muhammad dan redaksinya dari
Nabi
·
Hadits Nabi
adalah perkataan ,perbuatan, ketetapan Nabi Muhammad SAW
·
Hadits banyak
macamnya , dan tidak semua hadits dapat dijadikan sandaran atau landasan hukum
islam (hadits shohih dan hadits hasan)
IJMA’
·
Definisi
Ijmak menurut ulama ilmu ushul fikih adalah kesepakatan semua
mujtahid muslim pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW. Di atas hukum
syara’ mengenai suatu kejadian.
Apabila ada suatu peristiwa yang pada saat terjadinya diketahui
oleh semua mujtahid kemudian mereka semua sepakat memutuskan hukum atas
peristiwa tersebut , maka kesepakatan mereka disebut ijmak. Kesepakatan mereka
mengenai peristiwa tersebut digunakan sebagai dalil bahwa hukum itu adalah
hukum syara’ atas suatu kejadian.
·
Unsur-unsur
Ijmak dianggap sah menurut syara’ bila mencakup empat unsur:
o
Pertama ; ada
beberapa mujtahid pada saat terjadinya suatu peristiwa. Klarena jesepakatan
tidak mungkin dicapai kecuali dari beberapa pendapat yang saling memiliki
kessesuaian.
o
Kedua ;
kesepakatan atas hukun syara’ mengenai suatu peristiwa pada saat terjadi oleh
seluruyh mujtahid muslim tanpa melihat asal negara, kebangsaan, atau
kelompoknya.
o
Ketiga ;
kesepakatab mereka diawali dengan pengungkapan pendapat masing-masing mujtahid.
o
Keempat ;
kesepakatan itu benar-benar dari seluruh mujtahid dunia islam.
·
Macam-macam
ijmak
1)
Ijmak sharih :
yaitu para mujtahid pada satu masa itu sepakat atas hukum terhadap suatu
kejadian dengan menyampaikan pendapat masing-masing yang diperkuat dengan fatwa
atau keputusan,yakni masing-masing mujtahid mengungkapkan pendapatnya dalam
bentuk ucapan atau perbuatan yang mencerminkan pendapatnya.
2)
Ijmak sukuti :
yaitu mujtahid pada satu masa mengemukakan pendapatnya secara jelas terhadap
suatu peristiwa dengan fatwa atau putusan hukum, artinya tidak mengemukakan
komentar setuju atau tidak terhadap pendapat yang telah dikemukakan
QIYAS
·
Definisi
Qias menurut istilah , ushul fikih adalah menyamakan suatu hukum
dari peristiwa yang tidak memiliki nash hukum dengan peristiwa yang sudah
memiliki nash hukum, sebab sama dalam illat hukumnya.
Apabila ada nash yang menunjukan hukum pada suatu peristiwa dan
dapat diketahui illatnya hukumnya dengan cara-cara yang digunakan untuk
mengetahui hukum illatnya, maka hukum kedua masalah itu disamakan sebab
memiliki kesaan dalam hal illat hukum.
Berikut ini contoh qias :
Ø Pencurian oleh (anggota keluarga), antara orang tua dan anak atau
suami istri menurut undang-undang pidana, pelakunya tidak boleh dihukum kecuali
atas tuntutan korban. Hukum dan illat seperti perbuatan seperti ghasab,
merampas harta, mengeluarkan cek kosong dan kriminal pemaksaan, disamakan
dengan pencvurian karena hubungan kekerabatan dan suami istri.
·
Alasan ulama
yang menolak qiyas
1)
Di antara
alasan yang paling kuat adalah pendapat mereka bahwa qias itu didasarkan pada
dugaan, yakni illat hukum nash itu begini. Padahal suatu yang didasarkan pada
dugaan maka hasilnya adalah dugaan.
2)
Pendapat mereka
bahwa qias didasarkan pada perbedaan pandangan dalam menentukan illat hukum,
dan hal itu adalah sumber perbedaan dan pertentangan hukum. Sedangkan di antara
hukum-hukum syara’ yang bijaksana ini tidak ada pertentangan.
3)
Ungkapan yang
mereka terima dari sebagian sahabat yang mencela pendapat pribadi pendapat
hukum dengan pendaoat pribadi.
·
Unsur-unsur
qias
1)
Al ashlu, kejadian yang hukumnya
disebutkan dalam nash
2)
Al Fa’ru, kejadian yang hukumnya tidak disebutkan dalam nash, maksudnya
adalah untuk disamakan dengan al-ashlu dalam hukumnya.
3)
Al Hukmul
Ashliy, hukum syara yang dibawa oleh nash
dalam masalah asal. Tujuannya adalah menjadi hukum dasar bagi masalah baru.
4)
Al ‘illah, alasan yang dijadikan dasar oleh hukum asal, yang berdasarkan
adanya illat itu pada masalah baru maka masalah itu disamakan dengan masalah
asal dalam hukum.
HUKUM ISALAM
·
Hukum adalah
menetapkan sesuatu pada yang lain
·
Ulama ushul
fikih Abu Zahrah, Hukum adalah : “kitab syar’i yagng berkaitan dengan mukallaf,
baik berupa tuntunan, pilihan atau wadh’i.
·
Contoh tuntunan
terdapat pada Qs 47:11 yang artinya :
“ yang demikian
itu karena Allah pelindung bagi orang-orang yang beriman, sedang orang-orang
kafir tidak ada pelindung bagi mereka”.
·
Contoh
pilihan terdapat dalam Qs. Al-Baqarah :
229 , yang artinya :
“ Talak (yang
dapat dirujuk) itu dua kali. (setelah itu suami dapat) menahan dengan baik atau
melepaskan dengan baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang
telah kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan istri) khawatir
tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu (wali) khawatir bahwa
keduanya tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa
atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya. Itulah
hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa melanggar
hukum-hukum Allah, maka itulah orang-orang dzalim”.
·
Contoh wadh’i :
membunuh ahli waris.
v Kedudukan hukum islam
Ø Qs. An-Nisa : 105
“ sesungguhnya
kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu
dapat menetapkan hukum kepada manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan
kepadamu”.
v Tujuan hukum islam
Ø “Mewujudkan kebaikan bagi kehidupan manusia”
v Macam-macam hukum :
Ø Hukum Taklifi
Adalah hukum
yang menuntut kepada mukallaf untuk berbuat, menuntut untuk tidak berbuet atau
menghendaki mukallaf memilih antara berbuat atau tidak.
Hukum taklifi mengandung paksaan kepada mukallaf untuk berbuat,
tidak berbuat atau memilih untuk berbuat atau tidak. Alasan pemberian nama itu sudah
jelas dalam hal tuntutan kepada mukallaf untuk berbuat atau tidak berbuat.
Sedangkan untuk pilihan, pemberian nama itu tidak jelas, karena dalam hal ini
tidak ada paksaan. Oleh karena itu ulama ushul mengatakan, “pemberian nama
hukum taklifi adalah secara “Taghlib”. Yakni mengalahkan salah satu diantara
dua atau beberapa hal.
Ø Hukum Takhyiri
Adalah
ketentuan hukum yang membolehkan
Ø Hukum Wdh’i
Adalah
ketentuan hukum syar’i yang wajib di taati dengan baik, karena terwujudnya
perbuatan-perbuatan taklif lain yang terkait langsung dengan
ketentuan-ketentuan wadh’i tersebut.
Hukum –hukum bisa disebut wadh’i karena
bentuknya adalah meletakkan sebab untuk suatu akibat, meletakkan syarat kepada
yang disyarati dan meletakkan penghalang bagi hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar