BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sikap tolong menolong adalah ciri khas umat
Islam sejak masa Rasulullah. Pada masa itu tak ada seorang muslim pun
membiarkan muslim yang lainnya kesusahan, hal ini tergambar jelas ketika
terjadinya hijrah umat muslim Mekah ke Madinah, kita tahu bahwa kaum Ansor
menerima dengan baik kedatangan kaum Muhajirin dengan sambutan yang meriah,
kemudian mempersilahkan segalanya bagi para Muhajirin : rumah, lading, dan
lain-lain. Hal ini juga banyak ditegaskan dalam hadits Rasul yang menerangkan
bahwa setiap muslim adalah sama di mata Allah kecuali karena perbuatan dan
keimanan mereka. Adapun yang menerangkan bahwa semua muslim itu sama, maka jika
merasa seseorang diantara mereka teraniaya, yang lainnya pun akan merasakannya.
Bukan hanya dalam hadits-hadits Rasul, dalam
Al-Qur’an pun sebagai sumber rujukan utama banyak dijelaskan tentang sikap
tolong menolong itu. Seperti pada tiga ayat berikut Al-Maidah ayat 2, Al-
Maidah ayat 3, dan Al-Asr ayat 2.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana tafsir Surat
Al-Maidah ayat 2?
2.
apa pengertian
tolong menolong menurut Surat Al-Maidah ayat 3?
3.
Bagaiman tafsiran Surat Al-Asr ayat 3?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
AL-MAIDAH AYAT
2
a)
Bunyi ayat dan
terjemahan
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ
وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَائِدَ وَلَا آمِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ
يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنْ رَبِّهِمْ وَرِضْوَانًا ۚ وَإِذَا حَلَلْتُمْ
فَاصْطَادُوا ۚ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ
الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا ۘ وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ
وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا
اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar
syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan
(mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan
jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka
mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan
ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu)
kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam,
mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran.Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat
berat siksa-Nya.”
b)
Kosakata
Makna al-birru (الْبِرِّ)
dan at-taqwa (التَّقْوَى )
Dua kata ini, memiliki hubungan yang sangat erat.Karena
masing-masing menjadi bagian dari yang lainnya.
Secara sederhana, al-birru (الْبِرِّ
) bermakna kebaikan. Kebaikan dalam hal ini adalah kebaikan yang menyeluruh,
mencakup segala macam dan ragamnya yang telah dipaparkan oleh syariat[1].
c)
Asbabun Nuzul
Menurut Zaid
bin Aslam menuturkan, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Rasulullah dan
para sahabat saat berada di Hudaibiyyah, yang dihalangi orang-orang Musrikin untuk
sami ke Baitullah, keadaan ini membuat sahabat marah, suatu ketika dari arah
timur beberapa orang Musrikin yang akan umroh berjalan melewati mereka. Para
sahabat pun berkata, bagaimana kita juga menghalangi mereka, sebagaimana pernah
di haling-halangi.
d)
Tafsir
Kebaikan (kebajikan) yang tertera di ayat di
atas mencakup seluruh unsur agama Islam; prinsip-prinsip keimanan, penegakan
syariat seperti mendirikan shalat, membayar zakat dan infak kepada orang yang
membutuhkan dan amalan hati seperti bersabar dan menepati janji.
Dalam ayat ini, setelah memberitahukan ragam
kebaikan, di penghujung ayat, Allah Azza wa Jalla menjelaskan itulah
bentuk-bentuk ketakwaan (sifat-sifat kaum muttaqîn).
Adapun hakikat ketakwaan yaitu melakukan
ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla dengan penuh keimanan dan mengharap pahala;
baik yang berupa perintah ataupun larangan. Kemudian perintah itu dilaksanakan
atas dasar keimanan dengan perintah dan keyakinan akan janji-Nya, dan larangan
ditinggalkan berlandaskan keimanan terhadap larangan tersebut dan dan takut
akan ancaman-Nya.
Thalq bin Habîb rahimahullah, seorang Ulama
dari kalangan generasi Tâbi’în berkata:” Apabila terjadi fitnah maka bendunglah
dengan takwa”. Mereka berkata:” Apa yang dimaksud dengan takwa?”. Beliau
menjawab:” Hendaknya engkau melakukan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla
dengan dasar cahaya dari Allah Azza wa Jalla dan mengharap pahala-Nya. Dan
engkau tinggalkan maksiat dengan dasar cahaya dari Allah Azza wa Jalla dan
takut terhadap siksa-Nya”.
Ulama mengatakan bahwa penggabungan kata
al-birr dan at-taqwa dalam satu tempat (seperti ayat di atas) mengandung
pengertian yang berbeda satu sama lain. Dalam konteks ini, al-birr bermaka
semua hal yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa ucapan dan perbuatan,
lahir dan batin. Sementara at-taqwa lebih mengarah kepada tindakan menjauhi
segala yang diharamkan [al-Qawâid al-Hisân, Syaikh as-Sa’di, hlm. 48]
Makna al-itsmu (إئْمُ)
dan al-’udwân (الْعُدْوَانُ)
Pada dasarnya, pengertian antara al-birru dan at-taqwa, al-itsmu dan al-’udwân terikat pada hubungan yang kuat. Masing-masing kata itu mengandung pengertian kata lainnya. Setiap dosa (al-itsmu) merupakan bentuk ‘udwân (tindakan melampaui batas) terhadap ketentuan Allah Azza wa Jalla, yang berupa larangan atau perintah. Dan setiap tindakan ‘udwân, pelakunya berdosa.
Pada dasarnya, pengertian antara al-birru dan at-taqwa, al-itsmu dan al-’udwân terikat pada hubungan yang kuat. Masing-masing kata itu mengandung pengertian kata lainnya. Setiap dosa (al-itsmu) merupakan bentuk ‘udwân (tindakan melampaui batas) terhadap ketentuan Allah Azza wa Jalla, yang berupa larangan atau perintah. Dan setiap tindakan ‘udwân, pelakunya berdosa.
Namun bila keduanya disebut bersamaan, maka
masing-masing memiliki pengertian yang berbeda dengan yang lainnya.Al-itsmu
(dosa) berkaitan dengan perbuatanperbuatan yang memang hukumnya haram.
Contohnya, berdusta, zina, mencuri, minum khamer dan lainnya. Contoh-contoh di
atas merupakan perbuatan yang pada asalnya haram.
Sehubungan dengan al-’udwân, kata ini lebih
mengarah pada suatu pengharaman yang disebabkan oleh tindakan melampaui batas.
Apabila tidak terjadi tindakan melampaui batas, maka diperbolehkan (halal).
Tindakan melampaui batas terbagi dua, pertama:
terhadap Allah Azza wa Jalla, seperti melampaui batas ketentuan Allah Azza wa
Jalla dalam pernikahan seperti : memiliki lima istri, atau menyetubuhi istri
dalam masa haidh, nifas, masa ihram atau puasa wajib.
Dan kedua: Tindakan melampaui batas terhadap
sesama. Contohnya, bertindak kelewat batas terhadap orang yang berhutang,
dengan menciderai kehormatan, fisik atau mengambil lebih dari seharusnya.
2.
AL-MAIDAH AYAT
3
a)
Bunyi Ayat dan Terjemahan
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ
وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ
وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ
إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا
بِالْأَزْلَامِ ۚ ذَٰلِكُمْ فِسْقٌ ۗ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ
دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ ۚ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ
دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ
دِينًا ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ ۙ فَإِنَّ
اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging
hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul,
yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu
menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan
(diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak
panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa
untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan
takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan
telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama
bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa,
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
b)
Kosakata
تَسْتَقْسِمُوا: mengundi nasib
تَخْشَوْ: takut
اضْطُرّ: kelaparan
مَخْمَصَةٍ: keadaan
terpaksa
c)
Asbabun Nuzul
“Pada hari ini telah Kusempumakan untukmu
agamamu, Kulengkapi nikmat-Ku bagimu dan Kurestui Islam sebagai agamamu”
Ayat ini turun di Ghadir Khum ketika Nabi SAW mengangkat tangan Imam Ali a.s. untuk memproklamirkan kepemimpinannya di depan kurang lebih 150 ribu hadirin saat itu.
Ayat ini turun di Ghadir Khum ketika Nabi SAW mengangkat tangan Imam Ali a.s. untuk memproklamirkan kepemimpinannya di depan kurang lebih 150 ribu hadirin saat itu.
Nabi SAW menyampaikan hal ini setelah
melaksanakan haji Wada', dan ketika itu Nabi SAW bersabda : Barangsiapa
menjadikan aku pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya. Ya Allah, tolonglah
orang yang menolongnya dan musuhilah orang yang memusuhinya... "
Selanjutnya Umar bin Khattab mengucapkan
selamat kepada Imam Ali a.s. seraya berkata:“Selamat, selamat atasmu wahai
putra Abu Thalib, engkau telah menjadi pemimpinku dan pemimpin setiap yang
mukmin dan mukminah”.
d)
Tafsir
Ayat ini sebenarnya menjelaskan dua hal yang
berbeda tapi dikumpulkan dalam satu ayat. Bagian pertama ayat ini
merupakan kelanjutan ayat pertama surat ini, yang menyebutkan makanan-makanan
haram, dan menerangkan sepuluh hal dari daging-daging yang telah diharamkan.
Sebagian dari masalah ini menyangkut binatang-binatang, yang secara alami
tertimpa suatu kejadian yang tidak disangka-sangka dan mendadak, sehingga mati
terbunuh. Padahal ia termasuk binatang yang dagingnya halal, dan karena mereka
tidak disembelih secara syar'i, maka dagingnya menjadi haram. Sebagian yang
lainnya juga demikian, yaitu binatang-binatang yang dagingnya halal juga sudah
disembelih, tetapi mereka disembelih tidak dijalan Allah artinya disembelih
dengan tidak menyebut nama Allah, maka dagingnya haram.[2]
Ayat ini menunjukkan bahwa sesuatu yang
dihalalkan atau diharamkan oleh Allah Swt, semata-mata bukan berdasarkan
manfaat atau bahaya yang terkandung di dalam sesuatu itu terhadap tubuh
manusia. Karena secara lahiriah daging binatang yang disembelih dengan
tidak menyebut nama Allah tidak ada bedanya dengan daging binatang yang disembelih
dengan menyebut nama Allah. Tetapi diyakini penyebutan nama Allah akan
memberikan pengaruh psikologi kepada manusia itu, dimana
Allah Swt juga melarang memakan daging binatang semacam ini,
yang mati dengan sendirinya atau disembelih tetapi tanpa menyebut nama Allah.
Sekalipun dalam ayat-ayat al-Quran yang
lainnya telah disinggung juga bahwa dalam kondisi dimana manusia berada dalam
keadaan darurat dan terpaksa, karena kelaparan, maka seseorang dibolehkan
memakan daging atau bahan-bahan makanan yang diharamkan.Namun kita
diperintahkan hanya secukupnya saja yakni supaya dapat bertahan
hidup.Dengan demikian, Islam telah memberikan jalan keluar kepada
manusia bahwa kondisi darurat dan keadaan terjepit tidak boleh
membuat manusia mendapat alasan untuk melakukan perbuatan dosa.
Sebagaimana yang telah disebutkan
bahwa ayat tersebut memiliki dua bagian. Yang pertama telah dijelaskan,
sedang yang kedua ayat ini sepenuhnya tidak ada hubungannya dengan bagian ayat
pertama tersebut. Yaitu, mengenai pengenalan sebuah hari besar, yang
merupakan nasib baik dalam sejarah kaum Muslimin, yang menurut
ungkapan al-Quran bahwa orang-orang Kafir tidak berhasil menguasai kaum
Muslimin. Pada suatu hari agama Islam akan disempurnakan dan
Allah Swt juga akan menuntaskan nikmat-nikmat-Nya kepada kaum
Mukminin. Hari tersebut yang bagaimana? Hari yang mana dalam sejarah Islam
ataupun dalam kehidupan Nabi Muhammad Saw yang begitu
istimewanya, yang hanya terkait dengan peribadi seseorang!? Apakah ia adalah
hari pengangkatan Nabi yang memiliki kepentingan dan keistimewaan terhadap
semuanya, dan merupakan hari penyempurnaan agama? Atau hari hijrah Nabi
dari Mekah ke Madinah yang juga memiliki keistimewaan seperti itu
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
di atas, kita harus mengerti bahwa ayat tersebut kapan diturunkan,
sehingga menjadi jelas berkenaan dengan hari apa? Menurut keyakinan
para mufassir, ayat-ayat tersebut diturunkan di akhir usia Nabi dan
pada perjalanan haji Nabi Muhammad Saw tahun ke 10 Hijriah, yang terkenal
dengan haji Wada (haji perpisahan). Karena ternyata merupakan
perjalanan haji Nabi yang terakhir. Sebagian ayat itu menyebutkan hari
Arafah tanggal 9 Dzulhijah, dan sebagian yang lain diturunkan pada hari
sesudahnya, yakni tanggal 18 Dzulhijah di suatu tempat yang bernama
Ghadir Khum.
Berdasarkan riwayat-riwayat yang mutawatir,
Nabi Saw di tempat ini berkhutbah secara terperinci kepada
para jamaah haji dengan menjelaskan berbagai poin yang sangat
penting. Masalah paling penting yang dibicarakan beliau adalah posisi pengganti
atau khalifah setelah beliau. Rasulullah dalam hal ini, melalui pernyataannya
mengangkat tangan Ali bin Abi Thalib as tinggi-tinggi dan
bersabda, "Ayyuhal Mu'minun! Man Kuntu Maulahu fahaadza Aliyyun
Maulahu." Artinya, "Wahai orang-orang Mukmin! Barangsiapa
yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya, maka Ali juga sebagai
pemimpinnya."
Setelah terealisasinya perkara
penting tersebut, maka turunlah ayat ini yang merupakan bagian dari ayat
ke 3 dari surat al-Maidah, dimana orang-orang Kafir hingga saat
itu berharap dengan meninggalnya Nabi Muhammad Saw yang tidak
memiliki anak laki-laki, sehingga dapat menggantikan kedudukan beliau.
Begitu juga belum ditentukannya seseorang
sebagai khalifah beliau, maka mereka akan dapat
mengalahkan kaum Muslimin dan pada gilirannya dapat melenyapkan Islam
dari akarnya. Tetapi dengan diturunkannya ayat ini, semua angan-angan
mereka hancur lebur.
Dari sisi lain, agama merupakan
seperangkat undang-undang dan hukum-hukum Ilahi, tapi agama tetap kurang tanpa
memiliki pemimpin yang adil. Sehingga dengan ditentukannya khalifah atau
pemimpin setelah beliau Saw, maka agama akan menjadi sempurna. Allah
Swt telah menjadikan nikmat hidayah kepada manusia yaitu dengan diutusnya
Nabi yang membawa al-Quran. Kemudian dengan perintah-Nya telahmenetapkan
Ali bin Abi Thalib as sebagai khalifah, maka sempurnalah agama ini
yang menjadi keridhaan Allah Swt.
Dari ayat tadi
terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1)
Perwujudan
pemimpin agama yang adil merupakan sesuatu yang penting, dimana agama
tanpa yang demikian itu tidak sempurna. Karena tanpa adanya kepemimpinan, semua
nikmat dan kekuasaan akan rusak berantakan sehingga tidak sempurna.
2)
Kekokohan dan kesinambungan ajaran Islam
dengan menerima kepemimpinan yangbenar. Yakni, Imamah dan Wilayah
terhadap 12 Imam setelah Nabi Muhammad, dimana Imam yang terakhir adalah
Mahdi af yang saat ini hidup dalam keadaan gaib.
3.
Al-ASHR AYAT 3
a)
Bunyi Ayat dan Terjemahannya
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
"Kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati
supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran."
b)
Kosakata
تَوَاصَوْا yang berarti menasihati
c)
Ashbabun Nuzul
Pada ayat 3 menjelaskan
bagaimana cara yang harus dilakukan agar tidak termasuk orang yang rugi. Pada ayat ini, ada tiga syarat agar tidak menjadi orang yang
rugi, yaitu beriman dan beramal saleh, saling menasehati tentang kebenaran,
tentang menasehati tentang kesabaran.
a. Beriman dan beramal sholeh
Beriman berarti meyakin bahwa maanusia hidup didunia ini karena kehendak Allah,
Manusia harus tunduk kepada Allah yang mencipta, yang memberi rezki, dan
memeliharanya sampai pada saat yang telah ditentukan. Hanya dengan
iman manusia bisa dapat menyadari keberadaannya hidup di dunia.
Setelah memiliki
keimanan, seorang harus membuktikannya dengan perbuatan yaitu beramal sholeh
(amal kebajikan). Yang dimaksud dengan kebajikan ialah semua perkara yang
sesuai dengan ajaran Islam. Iman dan amal sholeh adalah satu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan, iman tanpa amal sholeh tidak cukup, sebaliknya amal
tanpa iman, tidak berarti dihadapan Allah SWT.
b. Saling menasehati tentang kebenaran
Agar tidak tergolong menjadi
orang yang merugi ialah, adanya kesediaan untukmenerima dan memberi nasehat
tentang kebenaran. kita sadari atau tidak, manusia mempunyai banyak kekurangan
dan kesalahan. Hanya orang-orang sombonglah yang tidak mau mengakui kekurangan
dan kesalahannya. Orang yang mengaku beriman harus mau menerima dan memberi
nasehat menuju kebenaran yang sesuai dengan ajaran Islam.
c. Saling menasehati tentang kesabaran
Salah satu syarat
orang tidak merugi kata Allah adalah adanya kesediaan untuk menerima dan
memberi nasehat tentang kesabaran. Sabar adalah perkara yang mudah diucapkan
tetapi sulit untuk dilaksanaknn, tidak mudah bagi kita untuk memiliki
kesabaran, karena kesabaran butuh waktu dan harus selalu melatih diri untuk
membiasakan sifat kesabaran tersebut, karena persoalan hidup senantiasa
mengintai kita yang terkadang persoalan yang kita hadapi sulit untuk dipecahkan
dan diselesaikan hanya dengan akal pikiran .dan kesabaran itu butuh keikhlasan.
d)
Tafsir
“Kecuali orang yang beriman.” (pangkal ayat
3). Yang tidak akan merasakan kerugian dalam masa hanyalah orang-orang yang
beriman. Orang-orang yang mempunyai kepercayaan bahwa hidupnya ini adalah atas
kehendak Yang Maha Kuasa. Manusia datang ke dunia ini sementara waktu; namun
masa yang sementara itu dapat diisi dengan baik karena ada kepercayaan; ada
tempat berlindung. Iman menyebabkan manusia insaf dari mana datangnya. Iman
menimbulkan keinsafan guna apa dia hidup di dunia ini, yaitu untuk berbakti
kepada Maha Pencipta dan kepada sesama manusia. Iman menimbulkan keyakinan
bahwasanya sesudah hidup yang sekarang ini ada lagi hidup. Itulah hidup yang
sebenarnya, hidup yang baqa. Di sana kelak segala sesuatu yang kita lakukan
selama masa hidup di dunia ini akan diberi nailainya oleh Allah. “Dan beramal
shalih,” bekerja yang baik dan berfaedah. Sebab hidup itu adalah suatu
kenyataan dan mati pun kenyataan pula, dan manusia yang di keliling kita pun
suatu kenyataan pula. Yang baik terpuji di sini, yang buruk adalah merugikan
diri sendiri dan merugikan orang lain. Sinar Iman yang telah tumbuh dalamjiwa
itu dan telah menjadi keyakinan, dengan sendinya menimbulkan perbuatan baik.
Dalam kandungan perut ibu tubuh kita bergerak. Untuk lahir ke dunia kita pun
bergerak. Maka hidup itu sendiri pun adalah gerak. Gerak itu adalah gerak maju!
Berhenti sama dengan mati. Mengapa kita akan berdiam diri? Mengapa kita akan
menganggur? Tabiat tubuh kita sendiri pun adalah bergerak dan bekerja. Kerja
hanyalah satu dari dua, kerja baik atau kerja jahat. Setelah kita meninggalkan
dunia ini kita menghadapi dua kenyataan. Kenyataan pertama adalah sepeninggal
kita, yaitu kenang-kenangan orang yang tinggal. Dan kenyataan kedua ialah bahwa
kita kembali ke hadhirat Tuhan.
Kalau kita beramal shalih di masa hidup, namun
setelah kita mati kenangan kita akan tetap hidup berlama masa. Kadang-kadang
kenangan itu hidup lebih lama daripada masa hidup jasmani kita sendiri. Dan
sebagai Mu’min kita percaya bahwa di sisi Allah amalan yang kita tinggalkan
itulah kekayaan yang akan kita hadapkan ke hadapan Hadhirat Ilahi. Sebab itu
tidaklah akan rugi masa hidup kita.
“Dan berpesan-pesanan dengan Kebenaran.”
Karena nyatalah sudah bahwa hidup yang bahagia itu adalah hidup bermasyarakat.
Hidup nafsi-nafsi adalah hidup yang sangat rugi. Maka hubungkanlah tali
kasih-sayang dengan sesama manusia, beri-memberi ingat apa yang benar. Supaya
yang benar itu dapat dijunjung tinggi bersama. Ingat-memperingatkan pula mana
yang salah, supaya yang salah itu sama-sama dijauhi.
Dengan demikian beruntunglah masa hidup. Tidak
akan pernah merasa rugi. Karena setiap pribadi merasakan bahwa dirinya tidaklah
terlepas dari ikatan bersama. Bertemulah pepatah yang terkenal: “Duduk seorang
bersempit-sempit, duduk ramai berlapang-lapang.” Dan rugilah orang yang
menyendiri, yang menganggap kebenaran hanya untuk dirinya seorang.
“Dan berpesan-pesanan dengan Kesabaran.”
(ujung ayat 3). Tidaklah cukup kalau hanya pesan-memesan tentang nilai-nilai
Kebenaran. Sebab hidup di dunia itu bukanlah jalan datar saja. Kerapkali kaki
ini terantuk duri, teracung kikil. Percobaan terlalu banyak. Kesusahan
kadang-kadang sama banyaknya dengan kemudahan. Banyaklah orang yang rugi karena
dia tidak tahan menempuh kesukaran dan halangan hidup. Dia rugi sebab dia
mundur, atau dia rugi sebab dia tidak berani maju. Dia berhenti di tengah
perjalanan. Padahal berhenti artinya pun mundur. Sedang umur berkurang juga.
Di dalam Al-Qur’an banyak diterangkan bahwa
kesabaran hanya dapat dicapai oleh orang yang kuat jiwanya, (Surat Fushshilat
41:35). Orang yang lemah akan rugilah.
Maka daripada pengecualian yang empat ini: (1)
Iman, (2) Amal shalih, (3) Ingat-mengingat tentang Kebenaran, (4)
Ingat-mengingat tentang Kesabaran, kerugian yang mengancam masa hidup itu
pastilah dapat dielakkan[3]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Kebaikan (kebajikan) yang tertera di ayat di
atas mencakup seluruh unsur agama Islam; prinsip-prinsip keimanan, maka dari
sebagai umat Islam harus mengedepankan sifat tolong menolong karena hal
tersebut merupakan perintah dari Allah kepada umat manusia.
[2] http://www.ibnukatsironline.com/2015/05/tafsir-surat-al-maidah-ayat-3.html Diakses Pada Senin,17 April 2017, Pukul 14.50 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar