Kamis, 18 Mei 2017

TAFSIR



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sikap tolong menolong adalah ciri khas umat Islam sejak masa Rasulullah. Pada masa itu tak ada seorang muslim pun membiarkan muslim yang lainnya kesusahan, hal ini tergambar jelas ketika terjadinya hijrah umat muslim Mekah ke Madinah, kita tahu bahwa kaum Ansor menerima dengan baik kedatangan kaum Muhajirin dengan sambutan yang meriah, kemudian mempersilahkan segalanya bagi para Muhajirin : rumah, lading, dan lain-lain. Hal ini juga banyak ditegaskan dalam hadits Rasul yang menerangkan bahwa setiap muslim adalah sama di mata Allah kecuali karena perbuatan dan keimanan mereka. Adapun yang menerangkan bahwa semua muslim itu sama, maka jika merasa seseorang diantara mereka teraniaya, yang lainnya pun akan merasakannya.
Bukan hanya dalam hadits-hadits Rasul, dalam Al-Qur’an pun sebagai sumber rujukan utama banyak dijelaskan tentang sikap tolong menolong itu. Seperti pada tiga ayat berikut Al-Maidah ayat 2, Al- Maidah ayat 3, dan Al-Asr ayat 2.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana tafsir Surat Al-Maidah ayat 2?
2.      apa pengertian tolong menolong menurut Surat Al-Maidah ayat 3?
3.      Bagaiman tafsiran Surat Al-Asr ayat 3?








BAB II
PEMBAHASAN

1.      AL-MAIDAH AYAT 2
a)   Bunyi ayat dan terjemahan
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَائِدَ وَلَا آمِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنْ رَبِّهِمْ وَرِضْوَانًا ۚ وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا ۚ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا ۘ وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”

b)     Kosakata
Makna al-birru (الْبِرِّ) dan at-taqwa (التَّقْوَى )
Dua kata ini, memiliki hubungan yang sangat erat.Karena masing-masing menjadi bagian dari yang lainnya.
Secara sederhana, al-birru (الْبِرِّ ) bermakna kebaikan. Kebaikan dalam hal ini adalah kebaikan yang menyeluruh, mencakup segala macam dan ragamnya yang telah dipaparkan oleh syariat[1].
c)      Asbabun Nuzul
Menurut Zaid bin Aslam menuturkan, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Rasulullah dan para sahabat saat berada di Hudaibiyyah, yang dihalangi orang-orang Musrikin untuk sami ke Baitullah, keadaan ini membuat sahabat marah, suatu ketika dari arah timur beberapa orang Musrikin yang akan umroh berjalan melewati mereka. Para sahabat pun berkata, bagaimana kita juga menghalangi mereka, sebagaimana pernah di haling-halangi.
d)     Tafsir
Kebaikan (kebajikan) yang tertera di ayat di atas mencakup seluruh unsur agama Islam; prinsip-prinsip keimanan, penegakan syariat seperti mendirikan shalat, membayar zakat dan infak kepada orang yang membutuhkan dan amalan hati seperti bersabar dan menepati janji.
Dalam ayat ini, setelah memberitahukan ragam kebaikan, di penghujung ayat, Allah Azza wa Jalla menjelaskan itulah bentuk-bentuk ketakwaan (sifat-sifat kaum muttaqîn).
Adapun hakikat ketakwaan yaitu melakukan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla dengan penuh keimanan dan mengharap pahala; baik yang berupa perintah ataupun larangan. Kemudian perintah itu dilaksanakan atas dasar keimanan dengan perintah dan keyakinan akan janji-Nya, dan larangan ditinggalkan berlandaskan keimanan terhadap larangan tersebut dan dan takut akan ancaman-Nya.
Thalq bin Habîb rahimahullah, seorang Ulama dari kalangan generasi Tâbi’în berkata:” Apabila terjadi fitnah maka bendunglah dengan takwa”. Mereka berkata:” Apa yang dimaksud dengan takwa?”. Beliau menjawab:” Hendaknya engkau melakukan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla dengan dasar cahaya dari Allah Azza wa Jalla dan mengharap pahala-Nya. Dan engkau tinggalkan maksiat dengan dasar cahaya dari Allah Azza wa Jalla dan takut terhadap siksa-Nya”.
Ulama mengatakan bahwa penggabungan kata al-birr dan at-taqwa dalam satu tempat (seperti ayat di atas) mengandung pengertian yang berbeda satu sama lain. Dalam konteks ini, al-birr bermaka semua hal yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa ucapan dan perbuatan, lahir dan batin. Sementara at-taqwa lebih mengarah kepada tindakan menjauhi segala yang diharamkan [al-Qawâid al-Hisân, Syaikh as-Sa’di, hlm. 48]
Makna al-itsmu (إئْمُ) dan al-’udwân (الْعُدْوَانُ)
Pada dasarnya, pengertian antara al-birru dan at-taqwa, al-itsmu dan al-’udwân terikat pada hubungan yang kuat. Masing-masing kata itu mengandung pengertian kata lainnya. Setiap dosa (al-itsmu) merupakan bentuk ‘udwân (tindakan melampaui batas) terhadap ketentuan Allah Azza wa Jalla, yang berupa larangan atau perintah. Dan setiap tindakan ‘udwân, pelakunya berdosa.
Namun bila keduanya disebut bersamaan, maka masing-masing memiliki pengertian yang berbeda dengan yang lainnya.Al-itsmu (dosa) berkaitan dengan perbuatanperbuatan yang memang hukumnya haram. Contohnya, berdusta, zina, mencuri, minum khamer dan lainnya. Contoh-contoh di atas merupakan perbuatan yang pada asalnya haram.
Sehubungan dengan al-’udwân, kata ini lebih mengarah pada suatu pengharaman yang disebabkan oleh tindakan melampaui batas. Apabila tidak terjadi tindakan melampaui batas, maka diperbolehkan (halal).
Tindakan melampaui batas terbagi dua, pertama: terhadap Allah Azza wa Jalla, seperti melampaui batas ketentuan Allah Azza wa Jalla dalam pernikahan seperti : memiliki lima istri, atau menyetubuhi istri dalam masa haidh, nifas, masa ihram atau puasa wajib.
Dan kedua: Tindakan melampaui batas terhadap sesama. Contohnya, bertindak kelewat batas terhadap orang yang berhutang, dengan menciderai kehormatan, fisik atau mengambil lebih dari seharusnya.

2.      AL-MAIDAH AYAT 3
a)      Bunyi Ayat dan Terjemahan
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ۚ ذَٰلِكُمْ فِسْقٌ ۗ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ ۚ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ ۙ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
b)     Kosakata
تَسْتَقْسِمُوا: mengundi nasib
تَخْشَوْ: takut
اضْطُرّ: kelaparan
مَخْمَصَةٍ: keadaan terpaksa

c)      Asbabun Nuzul
“Pada hari ini telah Kusempumakan untukmu agamamu, Kulengkapi nikmat-Ku bagimu dan Kurestui Islam sebagai agamamu”
Ayat ini turun di Ghadir Khum ketika Nabi SAW mengangkat tangan Imam Ali a.s. untuk memproklamirkan kepemimpinannya di depan kurang lebih 150 ribu hadirin saat itu.
Nabi SAW menyampaikan hal ini setelah melaksanakan haji Wada', dan ketika itu Nabi SAW bersabda : Barangsiapa menjadikan aku pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya. Ya Allah, tolonglah orang yang menolongnya dan musuhilah orang yang memusuhinya... "
Selanjutnya Umar bin Khattab mengucapkan selamat kepada Imam Ali a.s. seraya berkata:“Selamat, selamat atasmu wahai putra Abu Thalib, engkau telah menjadi pemimpinku dan pemimpin setiap yang mukmin dan mukminah”.

d)     Tafsir
Ayat ini sebenarnya menjelaskan dua hal yang berbeda tapi dikumpulkan dalam satu ayat. Bagian pertama ayat ini merupakan kelanjutan ayat pertama surat ini, yang menyebutkan makanan-makanan haram, dan menerangkan sepuluh hal dari daging-daging yang telah diharamkan. Sebagian dari masalah ini menyangkut binatang-binatang, yang secara alami tertimpa suatu kejadian yang tidak disangka-sangka dan mendadak, sehingga mati terbunuh. Padahal ia termasuk binatang yang dagingnya halal, dan karena mereka tidak disembelih secara syar'i, maka dagingnya menjadi haram. Sebagian yang lainnya juga demikian, yaitu binatang-binatang yang dagingnya halal juga sudah disembelih, tetapi mereka disembelih tidak dijalan Allah artinya disembelih dengan tidak menyebut nama Allah, maka dagingnya haram.[2]
Ayat ini menunjukkan bahwa sesuatu yang dihalalkan atau diharamkan oleh Allah Swt, semata-mata bukan berdasarkan manfaat atau bahaya yang terkandung di dalam sesuatu itu terhadap tubuh manusia. Karena secara lahiriah daging binatang yang disembelih dengan tidak menyebut nama Allah tidak ada bedanya dengan daging binatang yang disembelih dengan menyebut nama Allah. Tetapi diyakini penyebutan nama Allah akan memberikan pengaruh psikologi kepada manusia itu, dimana Allah Swt  juga melarang memakan daging binatang semacam ini, yang mati dengan sendirinya atau disembelih tetapi tanpa menyebut nama Allah.
Sekalipun dalam ayat-ayat al-Quran yang lainnya telah disinggung juga bahwa dalam kondisi dimana manusia berada dalam keadaan darurat dan terpaksa, karena kelaparan, maka seseorang dibolehkan memakan daging atau bahan-bahan makanan yang diharamkan.Namun kita diperintahkan hanya secukupnya saja yakni supaya dapat bertahan hidup.Dengan demikian, Islam telah memberikan jalan keluar kepada manusia bahwa kondisi darurat dan keadaan terjepit tidak boleh membuat manusia mendapat alasan untuk melakukan perbuatan dosa.
Sebagaimana yang  telah disebutkan bahwa ayat tersebut memiliki dua bagian. Yang pertama telah dijelaskan, sedang yang kedua ayat ini sepenuhnya tidak ada hubungannya dengan bagian ayat pertama tersebut. Yaitu, mengenai pengenalan sebuah hari besar, yang merupakan nasib baik dalam sejarah kaum Muslimin, yang menurut ungkapan al-Quran bahwa orang-orang Kafir tidak berhasil menguasai kaum Muslimin. Pada suatu hari agama Islam akan disempurnakan dan Allah Swt juga akan menuntaskan nikmat-nikmat-Nya kepada kaum Mukminin. Hari tersebut yang bagaimana? Hari yang mana dalam sejarah Islam ataupun dalam kehidupan Nabi  Muhammad Saw yang begitu istimewanya, yang hanya terkait dengan peribadi seseorang!? Apakah ia adalah hari pengangkatan Nabi yang memiliki kepentingan dan keistimewaan terhadap semuanya, dan merupakan hari penyempurnaan agama? Atau hari hijrah Nabi dari Mekah ke Madinah yang juga memiliki keistimewaan seperti itu
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di  atas, kita harus mengerti bahwa ayat tersebut kapan diturunkan, sehingga menjadi jelas berkenaan dengan hari apa? Menurut keyakinan para mufassir, ayat-ayat tersebut diturunkan di akhir usia Nabi dan pada perjalanan haji Nabi Muhammad Saw tahun ke 10 Hijriah, yang terkenal dengan  haji Wada (haji perpisahan). Karena ternyata merupakan perjalanan haji Nabi yang terakhir. Sebagian ayat itu menyebutkan hari Arafah tanggal 9 Dzulhijah, dan sebagian yang lain diturunkan pada hari sesudahnya, yakni tanggal 18 Dzulhijah di suatu tempat yang bernama Ghadir Khum.
Berdasarkan riwayat-riwayat yang mutawatir, Nabi Saw di tempat ini berkhutbah secara terperinci kepada para jamaah haji dengan menjelaskan berbagai poin yang sangat penting. Masalah paling penting yang dibicarakan beliau adalah  posisi pengganti atau khalifah setelah beliau. Rasulullah dalam hal ini, melalui pernyataannya mengangkat tangan Ali bin Abi Thalib as tinggi-tinggi dan bersabda, "Ayyuhal Mu'minun! Man Kuntu Maulahu fahaadza Aliyyun Maulahu." Artinya, "Wahai orang-orang Mukmin! Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya, maka Ali juga sebagai pemimpinnya."
Setelah terealisasinya perkara penting tersebut, maka turunlah ayat ini yang merupakan bagian dari ayat ke 3 dari surat al-Maidah, dimana orang-orang  Kafir hingga saat itu berharap dengan meninggalnya Nabi Muhammad Saw yang tidak memiliki anak laki-laki, sehingga dapat menggantikan kedudukan beliau. Begitu juga  belum ditentukannya seseorang sebagai  khalifah  beliau, maka mereka akan dapat mengalahkan kaum Muslimin dan pada gilirannya dapat melenyapkan Islam dari akarnya. Tetapi dengan diturunkannya ayat ini, semua angan-angan mereka hancur lebur.
Dari sisi lain, agama merupakan seperangkat undang-undang dan hukum-hukum Ilahi, tapi agama tetap kurang tanpa memiliki pemimpin yang adil. Sehingga dengan ditentukannya khalifah atau pemimpin setelah beliau Saw, maka agama akan menjadi sempurna. Allah Swt telah menjadikan nikmat hidayah kepada manusia yaitu dengan diutusnya Nabi yang membawa al-Quran. Kemudian dengan perintah-Nya  telahmenetapkan Ali bin Abi Thalib as sebagai khalifah, maka sempurnalah  agama ini yang menjadi keridhaan Allah Swt.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1)      Perwujudan pemimpin  agama yang adil merupakan sesuatu yang penting, dimana agama tanpa yang demikian itu tidak sempurna. Karena tanpa adanya kepemimpinan, semua nikmat dan kekuasaan akan rusak berantakan sehingga tidak sempurna.
2)      Kekokohan dan kesinambungan ajaran Islam dengan menerima  kepemimpinan yangbenar. Yakni, Imamah dan Wilayah terhadap 12 Imam setelah Nabi Muhammad, dimana Imam yang terakhir adalah Mahdi af  yang saat ini hidup dalam keadaan gaib.

3.      Al-ASHR AYAT 3
a)      Bunyi Ayat dan Terjemahannya
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
"Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran."

b)     Kosakata
تَوَاصَوْا yang berarti menasihati

c)      Ashbabun Nuzul
Pada ayat 3 menjelaskan bagaimana cara yang harus dilakukan agar tidak termasuk orang yang rugi. Pada ayat ini, ada tiga syarat agar tidak menjadi orang yang rugi, yaitu beriman dan beramal saleh, saling menasehati tentang kebenaran, tentang menasehati tentang kesabaran.
a. Beriman dan beramal sholeh
    Beriman berarti meyakin bahwa maanusia hidup didunia ini karena kehendak Allah, Manusia harus tunduk kepada Allah yang mencipta, yang memberi rezki, dan memeliharanya sampai pada saat yang telah ditentukan. Hanya dengan iman manusia bisa dapat menyadari keberadaannya hidup di dunia.
   Setelah memiliki keimanan, seorang harus membuktikannya dengan perbuatan yaitu beramal sholeh (amal kebajikan). Yang dimaksud dengan kebajikan ialah semua perkara yang sesuai dengan ajaran Islam. Iman dan amal sholeh adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, iman tanpa amal sholeh tidak cukup, sebaliknya amal tanpa iman, tidak berarti dihadapan Allah SWT.
b. Saling menasehati tentang kebenaran
  Agar tidak tergolong menjadi orang yang merugi ialah, adanya kesediaan untukmenerima dan memberi nasehat tentang kebenaran. kita sadari atau tidak, manusia mempunyai banyak kekurangan dan kesalahan. Hanya orang-orang sombonglah yang tidak mau mengakui kekurangan dan kesalahannya. Orang yang mengaku beriman harus mau menerima dan memberi nasehat menuju kebenaran yang sesuai dengan ajaran Islam.
c. Saling menasehati tentang kesabaran
   Salah satu syarat orang tidak merugi kata Allah adalah adanya kesediaan untuk menerima dan memberi nasehat tentang kesabaran. Sabar adalah perkara yang mudah diucapkan tetapi sulit untuk dilaksanaknn, tidak mudah bagi kita untuk memiliki kesabaran, karena kesabaran butuh waktu dan harus selalu melatih diri untuk membiasakan sifat kesabaran tersebut, karena persoalan hidup senantiasa mengintai kita yang terkadang persoalan yang kita hadapi sulit untuk dipecahkan dan diselesaikan hanya dengan akal pikiran .dan kesabaran itu butuh keikhlasan.
d)     Tafsir
“Kecuali orang yang beriman.” (pangkal ayat 3). Yang tidak akan merasakan kerugian dalam masa hanyalah orang-orang yang beriman. Orang-orang yang mempunyai kepercayaan bahwa hidupnya ini adalah atas kehendak Yang Maha Kuasa. Manusia datang ke dunia ini sementara waktu; namun masa yang sementara itu dapat diisi dengan baik karena ada kepercayaan; ada tempat berlindung. Iman menyebabkan manusia insaf dari mana datangnya. Iman menimbulkan keinsafan guna apa dia hidup di dunia ini, yaitu untuk berbakti kepada Maha Pencipta dan kepada sesama manusia. Iman menimbulkan keyakinan bahwasanya sesudah hidup yang sekarang ini ada lagi hidup. Itulah hidup yang sebenarnya, hidup yang baqa. Di sana kelak segala sesuatu yang kita lakukan selama masa hidup di dunia ini akan diberi nailainya oleh Allah. “Dan beramal shalih,” bekerja yang baik dan berfaedah. Sebab hidup itu adalah suatu kenyataan dan mati pun kenyataan pula, dan manusia yang di keliling kita pun suatu kenyataan pula. Yang baik terpuji di sini, yang buruk adalah merugikan diri sendiri dan merugikan orang lain. Sinar Iman yang telah tumbuh dalamjiwa itu dan telah menjadi keyakinan, dengan sendinya menimbulkan perbuatan baik. Dalam kandungan perut ibu tubuh kita bergerak. Untuk lahir ke dunia kita pun bergerak. Maka hidup itu sendiri pun adalah gerak. Gerak itu adalah gerak maju! Berhenti sama dengan mati. Mengapa kita akan berdiam diri? Mengapa kita akan menganggur? Tabiat tubuh kita sendiri pun adalah bergerak dan bekerja. Kerja hanyalah satu dari dua, kerja baik atau kerja jahat. Setelah kita meninggalkan dunia ini kita menghadapi dua kenyataan. Kenyataan pertama adalah sepeninggal kita, yaitu kenang-kenangan orang yang tinggal. Dan kenyataan kedua ialah bahwa kita kembali ke hadhirat Tuhan.
Kalau kita beramal shalih di masa hidup, namun setelah kita mati kenangan kita akan tetap hidup berlama masa. Kadang-kadang kenangan itu hidup lebih lama daripada masa hidup jasmani kita sendiri. Dan sebagai Mu’min kita percaya bahwa di sisi Allah amalan yang kita tinggalkan itulah kekayaan yang akan kita hadapkan ke hadapan Hadhirat Ilahi. Sebab itu tidaklah akan rugi masa hidup kita.
“Dan berpesan-pesanan dengan Kebenaran.” Karena nyatalah sudah bahwa hidup yang bahagia itu adalah hidup bermasyarakat. Hidup nafsi-nafsi adalah hidup yang sangat rugi. Maka hubungkanlah tali kasih-sayang dengan sesama manusia, beri-memberi ingat apa yang benar. Supaya yang benar itu dapat dijunjung tinggi bersama. Ingat-memperingatkan pula mana yang salah, supaya yang salah itu sama-sama dijauhi.
Dengan demikian beruntunglah masa hidup. Tidak akan pernah merasa rugi. Karena setiap pribadi merasakan bahwa dirinya tidaklah terlepas dari ikatan bersama. Bertemulah pepatah yang terkenal: “Duduk seorang bersempit-sempit, duduk ramai berlapang-lapang.” Dan rugilah orang yang menyendiri, yang menganggap kebenaran hanya untuk dirinya seorang.
“Dan berpesan-pesanan dengan Kesabaran.” (ujung ayat 3). Tidaklah cukup kalau hanya pesan-memesan tentang nilai-nilai Kebenaran. Sebab hidup di dunia itu bukanlah jalan datar saja. Kerapkali kaki ini terantuk duri, teracung kikil. Percobaan terlalu banyak. Kesusahan kadang-kadang sama banyaknya dengan kemudahan. Banyaklah orang yang rugi karena dia tidak tahan menempuh kesukaran dan halangan hidup. Dia rugi sebab dia mundur, atau dia rugi sebab dia tidak berani maju. Dia berhenti di tengah perjalanan. Padahal berhenti artinya pun mundur. Sedang umur berkurang juga.
Di dalam Al-Qur’an banyak diterangkan bahwa kesabaran hanya dapat dicapai oleh orang yang kuat jiwanya, (Surat Fushshilat 41:35). Orang yang lemah akan rugilah.
Maka daripada pengecualian yang empat ini: (1) Iman, (2) Amal shalih, (3) Ingat-mengingat tentang Kebenaran, (4) Ingat-mengingat tentang Kesabaran, kerugian yang mengancam masa hidup itu pastilah dapat dielakkan[3]









BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Kebaikan (kebajikan) yang tertera di ayat di atas mencakup seluruh unsur agama Islam; prinsip-prinsip keimanan, maka dari sebagai umat Islam harus mengedepankan sifat tolong menolong karena hal tersebut merupakan perintah dari Allah kepada umat manusia.



[1]
[2] http://www.ibnukatsironline.com/2015/05/tafsir-surat-al-maidah-ayat-3.html Diakses Pada Senin,17 April 2017, Pukul 14.50 WIB


[3] http://tafsir.cahcepu.com/alashr/al-ashr-1-3/ Diakses Pada 17 April 2017 Pukul 15.09 WIB


Tidak ada komentar:

Posting Komentar