Kamis, 01 Juni 2017

INTERELASI NILAI JAWA dan ISLAM DALAM BIDANG SASTRA



I.            PENDAHULUAN
      Sastra sebagai istilah yang menunjuk pada suatu ilmu dengan bahasan yang luas, yang meliputi (membicarakan pengertian-pengertian dasar tentang sastra, unsur-unsur yang membentuk suatu karya sastra, jenis-jenis sastra, dan perkembangan pemikiran sastra), sejarah sastra (membicarakan dinamika tentang sastra, pertumbuhan/perkembangan suatu karya sastra, tokoh-tokoh dan ciri-ciri dari masing-masing tahap perkembangan suatu karya sastra,  termasuk karya sastra yang menonjol dari aliran-aliran yang mendasari suatu karya sastra terkait dengan kondisi ideologi dan sosial yang mempengaruhinya), kritik sastra (membicarakan mengenai pemahaman, penafsiran, penilaian, dan penghayatan terhadap suatu karya sastra).

II.            RUMUSAN MASALAH
1) Apakah Fungsi Sastra ?
2) Bagaimana Gambaran Puisi (Karya Sastra) di Indonesia, Khususnya di Jawa ?
3) Apakah Keterkaitan Islam dengan Karya Sastra Jawa ?
4) Apasaja Karya-Karya Sastra Pujangga yang Menggunakan Puisi Jawa Baru ?























III.            PEMBAHASAN

 A. Fungsi Sastra

       Fungsi sastra adalah mengungkapkan adanya nilai keindahan (yang indah), nilai manfaat (berguna), dan mengandung nilai moralitas (pesan moral). Suatu karya sastra dikatakan memiliki nilai keindahan karena karya sastra yang terungkap dalam sebuah prosa, puisi, ataupun drama merupakan suatu karya yang dapat dinikmati, baik bagi pembacanya (bagi prosa), pendengarnya (bagi pendengarannya), dan penontonnya (bagi yang melihatnya). Dengan demikian, baik pembaca, pendengar, maupun penontonnya tidak merasa bosan, tergantung pada kualitas karya sastra yang bersangkutan. Apabila kualitas suatu karya sastra rendah, maka tentunya akan membosankan pembaca, pendengar, dan penontonnya. Sebaliknya, apabila suatu karya sastra memiliki kualitas yang tinggi, tentunya walaupun diulang-ulang, para pembaca, pendengar, dan penontonnya tidak akan merasa bosan.
      Yang lebih penting mengenai fungsi sebuah karya sastra menurut Edgard Allan (Rene Wilek & Austin Warren) yaiut memiliki nilai hiburan dan didaktik (didactic heresy). Suatu karya sastra (apakah karya sastra itu berupa prosa, puisi, atau drama) dapat mengandung nilai hiburan dan mengajarkan pesan moral (ajaran moral). Misalnya, karya sastra yang berbentuk prosa (buku) yang ditulis oleh penulis kenamaan, tentunya mengandung nilai hiburan (karena dengan membaca buku itu kekosongan waktu dapat diisi dengan membaca buku). Hal itu juga berlaku tidak hanya pada karya sastra yang berupa prosa saja, tetapi juga pada karya sastra yang berupa puisi (dengan dibacanya sebuah puisi, pendengarnya akan merasa terhibur). Demikian juga, suatu karya sastra mengandung nilai moral (ajaran moral). Hal ini dapat dilihat dari berbagai karya sastra yang baik, yang berupa prosa (buku), puisi, ataupun drama tertentu akan memiliki tema yang menjadi target atau misi yang terkandung dalam setiap karya sastra. Misalnya, karya-karya sastra yang ditulis oleh para pujangga (ahli pikir) tentunya akan memiliki maksud dan misi yang diembannya. Maksud dan misi itu biasanya berupa pemberian pelajaran lewat berbagai nasihat, petunjuk atau bimbingan kepada semua orang dalam memperbaiki kehidupan.

B. Gambaran Puisi (Karya Sastra) di Indonesia, Khususnya di Jawa

      Telah diuraikan diatas bahwa karya sastra yang berbentuk puisi dianggap sebagai karya sastra yang paling tua di Indonesia. Tidak hanya di berbagai daerah di Nusantara, juga di Jawa karya sastra yang paling tua adalah puisi (lama) yang lazim disebut mantra. Setelah mantra, muncul apa yang disebut sebagai : parikan dan syair/wangsalan, dan di jawa dikenal dengan nama ‘macapat’ yang merupakan puisi Jawa.
      Mantra yang merupakan bentuk puisi lama Jawa dipakai untuk berhubungan dengan religiositas manusia, terutama dalam berhubungan dengan hal-hal yang gaib/supranatural (termasuk Tuhan). Mantra ini dibuat untuk mempermudah manusia berhubungan dengan Yang Maha Kuasa. Agar seseorang mudah dalam melaksanakan permohonannya kepada Tuhan, maka diucapkan mantra-mantra. Mantra-mantra ini dianggap mengandung daya sakral/daya linuwih sehingga tidak sembarang orang dapat mengucapkannya. Hanya orang-orang tertentu (terpilih karena memiliki daya linuwih) sajalah yang diperbolehkan mengucapkannya, seperti seorang dukun, ‘orang pinter’ (orang yang memiliki daya linuwih), dan sebagainya. Pengucapan mantra biasanya dibarengi dengan upacara ritual dengan sesaji dan dengan sikap tertentu yang menunjukkan sikap hormat terhadap sasaran permintaan/permohonan (Tuhan) atau makhluk gaib lainnya. Pengucapan mantra yang dibarengi dengan sikap tertentu dan dengan upacara ritual, dan sesaji akan melahirkan/mendatangkan kekuatan (power) gaib. Herman J. Waluyo, (1997:6) mengemukakan bahwa mantra mengandung kekuatan bukan hanya dari struktur kata-katanya, tetapi terlebih dari struktur batinnya. Jika dilihat dari sikap sakralnya, maka hanya orang-orang tertentu saja yang dapat/bisa memiliki hak mewarisi kepandaian bermantra sekaligus dapat memiliki dan menggunakannya.
      Setiap tradisi disetiap suku banga di Indonesia memiliki konsep bagaimana orang berhubungan dengan hal-hal yang gaib (supranatural) seperti mantra. Mantra pada prinsipnya untuk permohonan, baik permohonan yang mengandung (niat/kehendak) positif maupun negatif. Mantra untuk keperluan kebaikan (nilai positif) seperti mantra (ilmu) pengasihan, permohonan agar turun hujan, dan sebagainya. Mantra untuk keperluan kejahatan (nilai negatif) seperti mantra untuk menjalankan pencurian, ilmu untuk mencerai seseorang dengan santet, tenung, teluh, dan sebagainya.
      Selain mantra, karya sastra yang berbentuk puisi (puisi lama) yang dikenal di Indonesia adalah pantun dan syair. Jenis-jenis puisi lama lainnya adalah, talibun, gurindam, tersina dan sebagainya yang memiliki struktur yang prinsip-prinsipnya sama dengan struktur pantun dan syair. Pantun dan syair menunjukkan ikatan yang kuat dalam hal struktur kebahasaan/struktur fisiknya/tipografinya. Struktur tematik (struktur makna) dikemukakan menurut aturan jenis pantun atau jenis syair. Ikatan yang memberikan nilai keindahan dalam struktur kebahasaan itu berupa :
(1) jumlah suku kata setiap baris, (2) jumlah bait setiap baris, (3) jumlah bait setiap puisi, dan (4) aturan dalam hal struktur dan ritma.
      Dalam tradisi budaya Jawa, karya sastra yang menyerupai pantun dan syair adalah parikan dan wangsalan. Parikan merupakan puisi berupa pantun model Jawa, yang hanya ada saran bunyi pada dua baris yang lazim disebut sampiran. Sementara itu, wangsalan berupa : dua baris pertama tidak hanya merupakan saran bunyi, tetapi merupakan teka-teki yang akan terjawab pada unsure-unsur isinya.
      Contoh parikan : wis suwe ora jamu / jamu pisan godhonge tela / wis suwe ora ketemu / ketemu sapisan gawe gelo (artinya: sudah lama tidak minum jamu / minum jamu sekali saja daunnya ketela / sudah lama tidak ketemu / ketemu sekali saja membuat kecewa). Contoh wangsalan: Jenang sela (apu) / wader kali sesonderan (sepat) / apuran to yen wonten lepat kawula.
      Karya sastra yang dikenal dengan puisi Jawa (kuno, tengahan, dan baru) sesuai dengan metrumnya, puisi Jawa ini meiiputi: (1) tembang gedhe / sekar ageng, dengan metrum India dan bahasa yang digunakan bahasa Jawa Kuno (kawi kuno), (2) tembang tengahan / sekar tengahan, dengan metrum India dan lokal Jawa Kuno dan menggunakan bahasa Jawa tengahan, (3) tembang cilik / sekar alit / tembang macapat dengan metrum Islam dan menggunakan bahasa jawa baru.
      Sehingga, nantinya sesuai dengan pembahasan inti adalah tembang macapat yang memakai metrum Islam dengan menggunakan bahasa Jawa baru.

C. Keterkaitan Islam dengan Karya Sastra Jawa

      Maksud keterkaitan antara Islam dengan karya sastra Jawa adalah keterkaitan yang bersifat imperatif moral atau mewarnai. Islam mewarnai dan menjiwai karya-karya sastra Jawa baru, sedangkan puisi (tembang/sekar macapat) dipakai untuk sarana memberikan berbagai petunjuk/nasehat yang secara substansial merupakan petunjuk/nasehat yang bersumber pada ajaran Islam. Hal ini terjadi karena para pujangga tersebut jelas beragama Islam. Kualitas keislaman para pujangga saat itu tentunya berbeda dengan kualitas saat sekarang ini. Jadi, para pembaca seharusnya menyadari bahwa pengetahuan ajaran Islam saat itu (abad 18-19) belum sebanyak seperti sekarang ini sehingga dalam menyampaikan petunjuk/nasihat para pujangga melengkapi diri dari kekurangannya mengenai pengetahuan ke-islaman dengan mengambil hal-hal yang dianggap baik dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Juga, semua karya-karya sastra Jawa baru yang sering digunakan para pujangga keratin Surakarta (Sri Mangkunegara IV, R. Ngb. Ranggawarsita, dan Susuhunan Pakubuwana IV) memakai puisi (tembang/sekar macapat) ini jelas-jelas bermetrum Islam. Artinya, munculnya tembang/sekar macapat ini berbarengan dengan munculnya Islam di Jawa, yaitu setelah kejatuhan kerajaan Majapahit yang Hindu.
      Dengan kata lain, Islam mewarnai dan menjiwai karya-karya sastra para pujangga keraton Surakarta sehingga  semua karya-karya sastranya itu berupa puisi yang berbentuk tembang/sekar Macapat.
      Istilah ‘Interelasi’ (dalam topik) artinya Islam di-Jawakan, sedangkan Jawa di-Islamkan. Walaupun demikian, warna Islam terlihat sekali dalam substansinya, yaitu:
(1) Unsur ketaukhidan (upaya mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa)
(2) Unsur kebajikan (upaya memberikan petunjuk/nasihat kepada siapapun (petunjuk agar berbuat kebajikan dan petunjuk untuk tidak berbuat tercela).






D. Karya-Karya Sastra Pujangga yang Menggunakan Puisi Jawa Baru

a. Karya-karya sastra Sri Mangkunegara IV (Serat-Serat Piwulang)

      1. Serat Warayagna (1784), memakai tembang Dhandhanggula, berisi 10 bait.
      2. Serat Wirawiyata, memakai tembang Sinom (berisi 42 bait), tembang Pangkur (berisi 14 bait).
      3. Serat Sriyatna, memakai tembang Dhandhanggula berisi 15 bait.
      4. Serat Nayakawara, menamai tembang Pangkur (berisi 21 bait), dan tembang Dhandhanggula    (berisi 12 bait).
      5. Serat Paliatma (1799), memakai tembang Dhandhanggula berisi 18 bait.
      6. Serat Paliwara (1812), memakai tembang Dhandhanggula berisi 6 bait, dan tembang Sinom berisi 7 bait.
      7. Serat Paliwarma (1793), memakai tembang Mijil berisi 11 bait, dan tembang Pucung berisi 11 bait.
      8. Serat Salokatama (1799), memakai tembang Mijil berisi 31 bait.
      9. Serat Darmalaksita (1807), memakai tembang Dhandhanggula berisi 12 bait, dan tembang Kinanthi berisi 10 bait, dan tembang Mijil berisi 18 bait.
      10. Serat Triparma, memakai tembang Dhandhanggula berisi 7 bait.
      11. Serat Yogatama, memakai tembang Dhandhanggula berisi 7 bait, dan tembang Kinanthi berisi 7 bait.
      12. Serat Wedhatama, memakai temban Pucung berisi 15 bait, tembang Gambuh berisi 25 bait, tembang Pangkur berisi 14 bait, dan tembang Sinom berisi 18 bait.
b. Karya-karya  Sastra R. Ngb. Ranggawarsita (tak terkenal):
      a. Serat Kalatidha, memakai tembang Sinom berisi 12 bait.
      b. Serat Sabdjati, memakai tembang Megatruh berisi 19 bait.
      c. Serat Sandatama, memakai tembang Gambuh berisi 22 bait.
      d. Serat Wedharaga, memakai tembang Gambuh berisi 38 bait.
c. Karya Sastra Susuhunan Pakubuwana IV:
      Serat Wulangareh, yang memakai tembang-tembang Dhandhanggula berisi 8 bait, Kinanthi berisi 16 bait, Gambuh berisi 17 bait, Pangkur berisi 17 bait, Maskumambang berisi 34 bait, Megatruh berisi 17 bait, Durma berisi 12 bait, Wirangrong berisi 27 bait, Pucung berisi 23 bait, Asmaradana 28 bait, Sinom berisi 33 bait, dan Girisa 12 bait.

E. Keterkaitan Islam dengan Karya-karya Sastra Jawa

      Sebelum membicarakan keterkaitan antara Islam dan karya sastra Jawa, terlebih dahulu akan dibicarakan mengenai puisi Jawa baru (tembang-tembang Macapat itu termasuk karya sastra atau memiliki kandungan nilai sastra).
      Bentuk puisi yang dipakai dalam membuat karya-karya sastra para pujangga keratin Surakarta adalah Puisi Jawa yang memiliki metrum Islam, yaitu Mijil, Kinanthi, Pucung, Sinom, Asmaradana, Dhandhanggula, Pangkur, Maskumambang, Durma, Gambuh, dan Megatruh. Tembang-tembang Macapat yang berbentuk puisi Jawa itu mengandung nilai sastra. Alasannya, puisi pada hakikatnya adalah karya sastra, dan semua karya sastra bersifat imajinatif dan ekspresi imajinatif pencipta puisi/penyair baru memiliki nilai sastra apabila si pencipta puisi mampu mengungkapkan ide-idenya dalam bentuk bahasa secara cermat dan tepat. Untuk itu puisi harus bersifat ekspresif-imajinatif, dan bahasa yang digunakan dalam puisi (bahasa sastra) harus bersifat konotatif. Konotatif dalam bahasa sastra berarti pemakaian bahasanya lebih banyak menggunakan makna kias dan makna lambing (majas). Hal ini dikarenakan dalam bahasa sastra, khususnya dalam puisi, terjadi pengkonsentrasian / pemaatan segenap kekuatan bahasa.
      Dalam Puisi Jawa baru (seperti tembang-tembang macapat) sekaligus termuat pengkonsentrasian/pemadatan. Hal ini terlihat pada kenyataan bahwa setiap puisi menunjukkan tembang-tembang Macapat kata-katanya terpilih (selektif dan tidak ada kata-kata yang tidak bermakna), dan bentuk bahasanya cermat dan tepat. Puisi yang baik apabila antara struktur fisik dan struktur non-fisik/struktur batih menyatu dalam suatu makna yang secara fungsional membentuk puisi. Artinya, sebuah puuisi merupakan struktur yang utuh karena disamping diatur oleh aturan-aturan suku kata, baris, dan bunyi juga aturan makna. Apabila kedua struktur itu tidak terpenuhi, maka puisi tersebut tidak memiliki nilai sastra.
      Jadi, tembang-tembang Macapat yang merupakan puisi Jawa baru yang terungkap dalam karya sastra, oleh para pujangga dipakai untuk menyampaikan berbagai ide mereka. Tembang Macapat memiliki sifat-sifat ekspresif-imajinatif, konotatif, dan terjelma dalam struktur fisik maupun struktur non-fisik/batin secara terpadu. Sifat yang demikian merupakan persyaratan sebuah puisi yang memiliki nilai sastra yang berkualitas.
      Maksud dari keterkaitan antara Islam dengan karya-karya sastra Jawa adalah keterkaitan yang sifatnya imperatif moral. Artinya, keterkaitan itu menunjukkan warna keseluruhan/corak yang mendominasi karya-karya sastra tersebut. Karya-karya sastra Jawa adalah karya sastra para pujangga keratin Surakarta yang hidup pada zaman periode Jawa baru yang memiliki metrum Islam. Corak yang mendominasi karya-karya sastra Jawa baru antara lain masalah jihad, masalah ketauhidan, masalah moral/perilaku yang baik, dan sebagainya.

F. Melaksanakan Jihad

a. Masalah Jihad
      Hal ini terungkap dalam Serat Wirawiyata (Sri Mangkunegara IV). Makna yang terungkap : setiap manusia hendaknya meniru sikap seorang prajurit, yaitu disiplin dan berloyalitas tinggi sesuai dengan sumpah yang diikrarkan (Sinom, bait 5). Seorang prajurit hendaknya bersikap kesatria, perwira dan selalu ingat pada Tuhan (Sinom, bait 34). Setiap prajurit harus memiliki tekat yang mantap dan tidak ragu-ragu akan tugasnya (Pangkur, bait 1). Setiap prajurit harus memiliki tubuh yang kokoh, kuat, tidak berpenyakitan, dan tidak memiliki sifat perilaku yang buruk (Pangkur, bait 44 dan 45).
      Implementasinya, bagi setiap umat Islam, sifat dan sikap seperti yang dimiliki seorang prajurit sangat diperlukan dalam menghadapi era globalisasi dan membentuk manusia Indonesia dari abad millennium baru, dan sifat serta sikap tersebut yang nantinya akan akan mampu melahirkan sumber daya manusia yang handal dan memiliki kemampuan daya saing yang tinggi (profesionalisme).
b. Mendekatkan diri kepada Tuhan
      Hal ini tertera dalam Serat Nayakawara, bait 21 dan Serat Dhandhanggula, bait (12). Makna yang terungkap: bagi orang yang menginginkan untuk mencapai kedudukan yang mulia, hendaknya melakukan ‘laku prihatin’ (tahan menderita dalam segala hal yang menjadi cobaannya), yaitu berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan dalam keadaan suka dan duka.
      Implikasinya,   bagi setiap orang Islam hendaknya selalu mendekatkan diri kepada Tuhan, apabila seseorang selalu mendekatkan diri kepada-Nya tentu akan diberikan petunjuk-Nya. Sebaliknya, orang yang tidak mendekatkan diri kepada-Nya tentu akan jauh dari jalan kebaikan (petunjuk-Nya) sehingga akan mudah tersesat dalam hidupnya.
c. Memiliki  moral yang baik (sifat/perbuatan terpuji)
      Hal ini tertera dalam Serat Salokatama. Makna yang terungkap dalam Serat Selokatama adalah kaum muda/remaja (khususnya) hendaknya tidak  berperilaku pada hal-hal yang merugikan dirinya sendiri, seperti sombong/angkuh, merasa pandai sendiri. Sifat-sifat itu justru akan merugikan dirinya sendiri dan akhirnya akan mendatangkan kebencian (Mijil, bait 1 dan 3). Juga terungkap dalam Serat Darmalaksita, nasehat bahwa agar seseorang berperilaku baik (melaksanakan kebajikan/akhlak yang terpuji) (Dhandhanggula, bait 12).
      Implementasinya, setiap muslim hendaknya memiliki perilaku akhlakul karimah karena dengan perilaku akhlakul karimah seseorang akan terhindar dari perilaku yang jahat, dan perilaku jahat itu pada hakikatnya merupakan perilaku syaitan/iblis yang selalu dikutuk oleh Tuhan.
d. Dan lain sebagainya.  

G. Karya-karya Sastra Jawa Kontemporer yang Islami
      Karya-karya Jawa kontemporer (zaman kemerdekaan) sulit untuk ditemukan karena kebanyakan pembuat puisi masih enggan untuk mencipta puisi yang islami. Kebanyakan merdeka itu membuat karya-karya sastra yang lebih bersifat njawani daripada yang Islami. Juga, puisi Jawa yang Islami belum dianggap ngetren, sehingga kebanyakan mereka lebih menyukai puisi yang njawani.
      Walaupun demikian, masih ada penyair yang mengungkapkan ide-idenya lewat tembang Macapat dengan warna Islami, seperti contoh berikut ini :
 1. Bektiya Mring Pangeran, tembang: Pucung:
      ‘’Bocah-bocah mesthine rak padha emut / ngalam donya ika / bumi saisine kuwi / sing nitahake iku kabeh Gusti Allah’’.
      ‘’Panemune wong ingkang waskitha iku / kabeh titah donya / gonolongken catur yaki / titah mati uwit kewan lan manungsa’’.
      ‘’Ngayomana kabeh titah sak ngisoran / sihe den ketokna / welasana kabeh kuwi / aja padha sawiyah-wiyah mring kewan’’.
      ‘’Ing sarehning kang paring kamulyan iku / Allah Kang Kawasa / mula kudu tansah eling / asih bekti marang asmaning Pangeran’’.
      ‘’Kang tan emut lan nyawiyah iku gemblung / ngedohno Pangeran / kublinger kagedhen melik / mrana-mrana mbaela gawe duraka’’.
      ‘’Akibate wong kang sarak iku / bakal nyangga wirang / ketula-ketula ketali / aji godhong jati garing uripira’’.
      ‘’Mula iku bocah-bocah kang satuhu / aja bosen kemba / amimiti dina iki / temen-temen ngabektiya mring Pangeran’’.
      ‘’Yeng ngelingi uripe manungsa iku / sugih tuwin mlarat / luhur lan asor puniki / kabeh iku padha nandhang lahir batos’’.
      ‘’Mulanira kumbahen atimu iku / ngestokken dhawuhnya / tan nerak pepacuh Widhi / dipun tlatos pemangkune santosa’’.
 2. ‘’Bektiya Marang Wong Tuwamu’’ : Tembang : Gambuh:
      ‘’Rungokna pituturku / padha bektiya mring tuwamu / ora susah kathik nganggodadak mikir / prelune ngajeni iku / rasakna kang padha tlatos’’.
      ‘’Sawangen cempe iku / nalikane arep ngombe susu / duwe wajib marang mbokne iku kaki / mendhek nekuke dhengkul / katon sujud marang embok’’.
      ‘’Lamun tinitah luhur / aja nganti kalah karo wedhus / dha rasakna kapenakmu sakiki / mangan nyandhang kari matur / pak mbok kula nyuwun arta’’.
      ‘’Nggone mayir gumagus / ora sumbut nggone golek butuh / direwangi adus kringet niba tangi / wong tuwa disambat sebut / nyang ati kaya ajura’’.
      ‘’Tresnane wong tuwamu / nalikane kowe during metu / sapolahe sadina-dina prihatin / kudu ngene ngono iku / amrih anak lahir dhenok’’.
      ‘’Sawuse kowe metu / ora cukup ditokke satuhu / nangis ngguyu iku tansah den teliti / lamun kowe nandhang tatu / ibu susah lahir batos’’.
      ‘’Tumekane gedhemu / bapak ibu nyukupi butuhmu / teko ngono kabecikan iku kaki / mula padha dipun emut / den bisa males wong tuwa’’.
      ‘’Cara ngene patrapmu / piwatesmu marang wong tuwamu / mbangun turut aja sokwani madoni / aja mblasar lan mbesengut / polatan susah tan maton’’.
      ‘’Yen isih wong tuwamu / aja lungan tanpa tuju / minggat klepat tanpa nganggo matur dhisik / anak dununge tan maton’’.
      ‘’Sabanjure tuturku / yen pinuju gerah wong tuwamu / tunggonana dongakna larane kalis / aja nganti gawe saru / ning ngluhurna mring wong tuwa’’.




IV.            KESIMPULAN
       Fungsi sastra adalah mengungkapkan adanya nilai keindahan (yang indah), nilai manfaat (berguna), dan mengandung nilai moralitas (pesan moral).
      Mantra yang merupakan bentuk puisi lama Jawa dipakai untuk berhubungan dengan religiositas manusia, terutama dalam berhubungan dengan hal-hal yang gaib/supranatural (termasuk Tuhan).   Mantra ini dibuat untuk mempermudah manusia berhubungan dengan Yang Maha Kuasa. Agar seseorang mudah dalam melaksanakan permohonannya kepada Tuhan, maka diucapkan mantra-mantra.
      Maksud keterkaitan antara Islam dengan karya sastra Jawa adalah keterkaitan yang bersifat imperatif moral atau mewarnai. Islam mewarnai dan menjiwai karya-karya sastra Jawa baru, sedangkan puisi (tembang/sekar macapat) dipakai untuk sarana memberikan berbagai petunjuk/nasehat yang secara substansial merupakan petunjuk/nasehat yang bersumber pada ajaran Islam.
      Maksud dari keterkaitan antara Islam dengan karya-karya sastra Jawa adalah keterkaitan yang sifatnya imperatif moral. Artinya, keterkaitan itu menunjukkan warna keseluruhan/corak yang mendominasi karya-karya sastra tersebut. Karya-karya sastra Jawa adalah karya sastra para pujangga keratin Surakarta yang hidup pada zaman periode Jawa baru yang memiliki metrum Islam. Corak yang mendominasi karya-karya sastra Jawa baru antara lain masalah jihad, masalah ketauhidan, masalah moral/perilaku yang baik, dan sebagainya.

V.            PENUTUP
      Demikian makalah yang dapat kami sampaikan. Mohon maaf apabila ada kesalahan maupun kekurangan, maka dari itu penulis mengharap kritik dan saran untuk kedepannya mampu mengoreksi agar lebih baik lagi. Kesempurnaan hanya milik Allah semata. Sekiranya isi dalam makalah ini dapat memberikan pemahaman dalam khazanah intelektual kita dan semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar