Kamis, 01 Juni 2017

TEORI HUBUNGAN INTERPERSONAL (Self Disclosure, Atribusi, Pertukaran dan Penetrasi Sosial)



BAB I
PENDAHULUAN
I.                   LATAR BELAKANG
Manusia adalah mahluk social yang sudah pastinya saling membutuhkan satu dengan yang lain. Tidak hanya dalam satu hal melainkan dari berbagai hal, manusia memerlukan satu dengan yang lain. Kita sebagai manusia, sudah barang tentu memerlukan yang namanya komunikasi, karna hal itulah yang dapat menyalurkan apa yang ada di benak kita. Dengan kata lain, komunikasi sangatlah penting untuk kehidupan sehari-hari untuk menyalurkan pendapat,informasi dan lain sebagainya dengan tujuan tercapainya apa yang menjadi maksud dalam diri manusia terhadap manusia yang lain. Di dalam proses berkomunikasi pun memiliki banyak teori supaya di dalam proses komunikasi tidak mengakibatkan salah paham yang dalam penyampaian informasi, yang bisa berbentuk nasehat, ajakan atau pendapat yang lain. Dengan adanya makalah ini kami akan membahas tentang teori-teori tersebut.

II.                RUMUSAN MASALAH
1.      Apa yang di maksud dengan hubungan interpersonal teori Self Disclosure?
2.      Apa yang di maksud dengan hubungan interpersonal teori Atribusi?
3.      Apa yang di maksud dengan hubungan interpersonal teori Pertukaran Sosial?
4.      Apa yang di maksud dengan hubungan interpersonal teori Penetrasi Sosial?










BAB II
PEMBAHASAN

A.    Teori Self Disclosure
            Self disclosure theory atau juga bisa disebut teori pengembangan diri adalah proses sharing atau berbagi informasi dengan orang lain. Informasinya menyangkut pengalaman pribadi, perasaan, rencana masa depan, impian, dan lain-lain. Dalam melakukan proses selft-disclosure atau penyingkapan diri itu sendirir adalah kepercayaan.[1]
1.      Self-disclosure atau penyingkapan diri selalu merupakan tindakan interpersonal.
2.      Merupakan sebuah proses berbagi informasi dengan orang lain, informasinya menyangkut masalah pribadi.
3.      Bergantung kepada kepercayaan.
4.      Self-disclosure atau penyingkapan diri sangat esensial atau mendasar dalam proses terapi kelompok.
Self-disclosure merupakan sebuah proses membeberkan informasi tentang diri sendiri kepada orang lain. Penyingkapan diri merupakan suatu usaha untuk membiarkan keontetikan memasuki hubungan social kita, dan hal ini berkaitan dengan kesehatan mental dan pengembangan konsep diri.
Salah satu model inovatif untuk memahami tingkatan-tingkatan kesadaran dan penyingkapan diri dalam komunikasi adalah Jendela Johari( Johari Window). “Johari” berasal dari nama depan dua orang psikolog yang mengembangkan konsep ini, Joseph Luft dan Harry Ingham. Model ini mengembangkan seseorang kedalam bentuk satu jendela yang mempunyai empat kaca.
Dalam hal penyingkapan diri ini, hal yang paling mendasar adalah kepercayaan. Biasanya seseorang akan mulai terbuka pada orang yang sudah lama dikenalnya. Selain itu menyangkut kepercayaan beberapa ahli psikologi percaya bahwa perasaan percaya terhadap orang lain yang mendasar pada seseorang ditentukan oleh pengalaman selama bertahun-tahun pertama hidupnya. Bila seseorang telah menyingkap sesuatu tentang dirinya pada orang lain, ia cenderung memunculkan tingkat keterbukaan balasan pada orang kedua.

1.      Kelebihan teori penyingkapan diri
a)      Dari penyingkapan diri kita bisa mendengarkan pengalaman orang lain yang nantinya bisa menjadi pelajaran bagi kita.
b)      Dengan Self-disclosure atau penyingkapan diri, kita juga bisa mengetahui seperti apa diri kita dalam pandangan orang lain, dengan hal itu kita bisa melakukan intropeksi diri dalam hubungan.
2.      Kekurangan dari teori prnyingkapan diri
a)      Tidak semua orang dapat menanggapi apa yang kita sampaikan bahkan sering terjadi salah paham sehingga malah menimbulkan masalah baru.
b)      Ketika seseorang telah mengetahui diri kita, bisa saja orang lain ini memanfaatkan apa yang telah dia ketahui mengenai diri kita.
B.     Teori Atribusi
Atribusi merupakan salah satu proses pembentukan kesan. Dimana proses pembentukan kesan ini dapat dilihat berdasarkan stereotip, Implictpersonality Theory, dan Atribusi. Secara garis besar, ada dua macam Atribusi, yaitu Atribusi Kausalitas dan Atribusi Kejujuran. Heider mengemukakan apabila kita mengamati perilaku social, maka yang pertama kali harus kita lakukan adalah menentukan terlebih dahulu apa yang menyebabkannya, yakni factor situasional atau personal. Dalam teoriatribusi lazim disebut kausalitas eksternal dan internal (Jones and Nisbett, 1972). Teori Atribusii Harold Kelley (1972-1973) Teori Atribusi yang berkembang pada tahun 1960-an dan 1970-an memandangi individu psikologi amatir yang mencoba memahami sebab-sebab yang terjadi pada berbagai peristiwa yang dihadapinya. Ia mencoba menemukan apa yang menyebabkan apa, atau apa yang mendorong siapa melakukan apa. Respon yang kita berikan pada suatu peristiwa bergantung pada interpretasi kita tentang peristiwa itu. Teori Atribusi yang dikemukakan oleh Harold Kelley menyatakan bahwa kita menyimpulkan kausalitas internal maupun eksternal dengan memperhatikan tiga hal, yaitu:[2]
1.      Consensus             : apakah orang lain bertindak sama seperti penanggap.
2.      Konsistensi            : apakah penanggap bertindak sama pada situasi yang lain.
3.      Kekhasan              : apakah orang lain bertindak yang sama pada situasi lain atau pada saat itu saja.
Menurut Kelly ini, apabila ketiga hal itu tinggi, maka seseorang akan melakukan Atribusi kausalitas eksternal

C.    Teori Pertukaran Sosial

Para teoretikus Pertukaran Sosial berpendapat bahwa semua orang menilai hubungan mereka dengan melihat pengorbanan dan penghargaan. Ketika teman – teman mereka menghabiskan waktu bersama, yang harus mereka lakukan adalah mempertahankan hubungan mereka, mereka tidak dapat melakukan hal lain dengan hal tersebut, jadi dalam hal ini waktu yang dihabiskan adalah pengorbanan. Misalnya, jika anda harus menyelesaikan tugas makalah dan sahabat anda baru putus cinta dengan pacarnya dan perlu bercerita dengan anda, anda dapat melihat bagaimana persahabatan ini akan meminta anda untuk berkorban waktu. Walaupun begitu hubungan juga dapat memberikan penghargaan atau hal – hal yang positif.
Asumsi teori pertukaran social dibangun atas dasar beberapa asumsi mengenai sifat dasar manusia dan sifat dasar hubungan. Asumsi – asumsi yang dibuat oleh Teori Pertukaran Sosial mengenai sifat dasar manusia adalah sebagai berikut :
1.      Manusia mencari penghargaan dan menghindari hukuman
2.      Manusia adalah makhluk rasional
3.      Standar yang digunakan manusia untuk mengevaluasi pengorbanan dan penghargaan bervariasi seiring berjalannya waktu dan satu orang ke orang lainnya.[3]
Asumsi – asumsi yang dibuat oleh Teori Pertukaran Sosial mengenai sifat dasar dari suatu hubungan adalah sebagai berikut :
1.      Hubungan memiliki sifat saling ketergantungan
2.      Kehidupan berhubungan adalah sebuah proses

D.    Teori  Penetrasi Sosial
Penetrasi social adalah teri yang membahas bagaimana perkembangan kedekatan dalam sebuah hubungan. Teori ini dipopulerkan oleh Irwin Altman dan Dalmas Taylor. Teori ini secara umum membahas tentang bagaimana proses komunikasi interpersonal.
Altman dan taylor ( 1973 ) membahas tentang bagaimana perkembangan kedekatan dalam suatu hubungan. Menurut mereka pada dasarnya kita akan mampu untuk berdekatan dengan seseorang yang lain sejauh yang kita mampu melalui proses.
Asumsi teori Penetrasi Sosial
1.      Hubungan – hubungan memiliki kemampuan dari tidak menjadi intim menjadi intim
2.      Secara umum perkembangan hubungan sistematis dan dapat diprediksi
3.      Perkembangan hubungan mencangkup depenetrasi ( penarikan diri )
4.      Pembukaan diri adalah inti dari perkembangan hubungan
Dalam teori ini Altman dan Taylor memiliki 4 tahapan proses penetrasi social :
1.      Orientasi
Membuka sedikit demi sedikit merupakan tahapan awal dalam interaksi dan terjadi pada tingkatan social
2.      Pertukaran penjajahan afektif
Dalam tahapan ini merupakan perluasan area public dari diri dan terjadi ketika aspek – aspek dari kepribadian seorang indivisu mulai muncul
3.      Pertukaran afektif
Komitmen dan kenyamanan yang ditandai dengan persahabatan yang dekat dan pasangan yang intim. Dalam tahapan ini termaksud interaksi yang lebih “ tanpa beban dan santai “

4.      Pertukaran stabil
Kejujuran total dan keintiman. Tahapan terakhir ini merupakan tahapan dimana berhubungan dengan pengungkapan pemikiran, perasaan, dan perilaku secara terbuka yang mengakibatkan munculnya spontanitas dan keunikan hubungan yang tinggi. [4]




















BAB III
PENUTUP
I.                   Kesimpulan
Teori – teori dalam hubungan interpersonal ada 4 yaitu :
1.      Self disclosure theory atau juga bisa disebut teori pengembangan diri adalah proses sharing atau berbagi informasi dengan orang lain. Informasinya menyangkut pengalaman pribadi, perasaan, rencana masa depan, impian, dan lain-lain. Dalam melakukan proses selft-disclosure atau penyingkapan diri itu sendirir adalah kepercayaan
2.      Teori Atribusi merupakan salah satu proses pembentukan kesan. Dimana proses pembentukan kesan ini dapat dilihat berdasarkan stereotip, Implictpersonality Theory, dan Atribusi. Secara garis besar, ada dua macam Atribusi, yaitu Atribusi Kausalitas dan Atribusi Kejujuran.
3.      Teori Pertukaran Sosial berpendapat bahwa semua orang menilai hubungan mereka dengan melihat pengorbanan dan penghargaan. Ketika teman – teman mereka menghabiskan waktu bersama, yang harus mereka lakukan adalah mempertahankan hubungan mereka, mereka tidak dapat melakukan hal lain dengan hal tersebut, jadi dalam hal ini waktu yang dihabiskan adalah pengorbanan. Teori Penetrasi social adalah teri yang membahas bagaimana perkembangan kedekatan dalam sebuah hubungan. Teori ini dipopulerkan oleh Irwin Altman dan Dalmas Taylor. Teori ini secara umum membahas tentang bagaimana proses komunikasi interpersonal.
II.                Kritik dan Saran
Demikian makalah yang dapat kami susun. Kami menyadari bahwa makalah kami memiliki banyak sekali kesalahan dan jauh dari kata sempurna. Oleh Karena itu maka kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.


DAFTAR PUSTAKA
Rakhmat. Jalaluddin.1985. Psikologi Komunikasi. Bandung: karya Remaja
West. Richard dan Tunner. H. 2008. Pengantar Teori Komunikasi. Jakarta: PT. Salemba Humanika
Wiyadi. Pur. 2009. Tahap – tahap dalam Hubungan Interpersonal. Jakarta: PT. Bumi Aksara


[1]Jalaluddin Rakhmat. Psikologi komunikasi. ( Bandung: PT. Karya Remaja ). 1985. hlm 83
[2]Pur Wiyadi. Tahap-tahap dalam Hubungan Interpersonal. Jakarta: PT. Bumi aksara. 2009. hlm 65
[3]Richard West. Lynn H. Turner. Pengantar Teori Komunikasi Analisis dan Aplikasi. ( Jakarta : Salemba Humanika : 2008 . hlm 216-218
[4]Ibid. hlm 197







KEMATANGAN BERAGAMA PADA ORANG DEWASA DAN USIA LANJUT



BAB I
PENDAHULUAN
       I.            LATAR BELAKANG
Dalam kehidupan sehari-hari kita sudah membuktikan dan merasakan bahwa manusia tidak pernah lepas dari kehidupan beragama, baik dalam arti sempit hubungan manusia dengan Tuhannya secara langsung atau dalam arti lebih luas yaitu hubungan manusia dengan Tuhannya melalui orang lain atau lembaga social keagamaan. Kematangan beragama seseorang berkaitan erat dengan kematangan usia seseorang. Dalam hal ini tentu saja kematangan beragama anak kecil, remaja, dewasa dan usia lanjut memiliki perbedaan yang signifikan. Dalam maklah ini kami menyajikan materitentang kematangan beragama pada orang dewasa dan lanjut usia.[1]
    II.            RUMUSAN MASALAH
1.         Bagaimana kematangan beragama seseorang?
2.         Bagaimana kematangan beragama pada orang dewasa dan manula?
3.         Apa ciri-ciri kematangan beragama orang dewaasa dan manula?











BAB II
PEMBAHASAN
A.  Kematangan Beragama Seseorang
Manusia mengalami dua macam perkembangan yaitu perkembangan jasmani dan perkembangan rohani. Perkembangan jasmani diukur berdasarkan umur kronologis. Puncak perkembangan jasmani yang dicapai manusia disebut kedewasaan. Sebaliknya, perkembangan rohani diukur berdasarkan tingkat kemampuan (ability). Pencapaian tingkat abilitas tertentu bagi perkembangan rohani disebut istilah kematangan (maturity).[2]
Kemampuan seorang untuk mengenali atau memahami nilai agama yang terletak pada nilai-nilai luhurnya serta menjadikan nilai-nilai dalam bersikap dan bertingkah laku merupakan ciri dari kematangan seorang untuk memahami, menghayati, serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari. Ia menganut suatu agama karena menurut keyakinanagama tersebutlah yang terbaik.  Karena itu ia berusaha menjadi penganut yang baik. Keyakinan itu ditampilkannya dalam sikap dan tingkah laku keagamaan yang mencerminkan ketaatan terhadap agamanya.
Sebaliknya dalam kehidupan tidak jarang dijumpai mereka yang taat beragama itu  dilatarbelakangi oleh berbagai pengalaman agama seperti tipe kepribadian masing-masing. Kondisi ini menurut temuan psikologi agama mempengaruhi sikap keagamaan seseorang. Dengan demikian, pengaruh tersebut secara umum member cirri-ciri tersendiri dalam sikap keberagamaan masing-masing.
Kematangan keberagamaan seseorang dipengaruhi faktor dari dalam diri (intern) dan dari luar (ekstern).
1.      Faktor Diri Sendiri
Faktor dari dalam diri sendiri terbagi menjadi dua yaitu : kapasitas diri dan pengalaman. Kapasitas ini berupa kemampuan ilmiah (rasio) dalam menerima ajaran-ajaran itu terlihat perbedaannya antara seorang yang berkemampuan dan kurang kemampuan. Bagi mereka yang mampu menerima dengan rasio nya, akan menghayati dan kemudian mengamalkan ajaran-ajaran agama tersebut dengan baik, penuh keyakinan dan argumentative, walaupun apa yang harus ia lakukan itu berbeda dengan tradisi yang mungkin sudah mendarah daging dalam kehidpan masyarakat.
Sedang faktor pengalaman, semakin luas pengalaman seseorang dalam bidang keagamaan, maka akan semakin mantap dan stabil dalam melakukan aktivitas keagamaan. Namun bagi mereka yang mempunyai penagalaman sedikit dan sempit, ia akan selalu mengalami berbagai macam kesulitan dan akan selalu dihadapkan pada hambatan-hambatan untuk dapat mengerjakan ajaran agama secara mantap.
Faktor internal yang mempengaruhi sikap keberagamaan seorang terdiri dari :
a.                   Tempramen, tingkah laku yang didasarkan pada tempramen tertentu memegang peranan penting dalam sikap beragama seseorang.
b.                  Gangguan jiwa, orang yang menderita gangguan jiwa menunjukan kelainan dalam sikap dan tingkah lakunya.
c.                   Konflik dan keraguan, konflik dan keraguan ini dapat mempengaruhi sikap seorang terhadap agama, seperti taat, fanatic, agnotis maupun atheis.
d.                  Jauh dari Tuhan, orang yang hidupnya jauh dari Tuhan akan merasa dirinya lemah dan kehilangan pegangan hidup, terutama saat  menghadapi musibah.
2.      Faktor Luar
Yang dimaksud faktor luar adalah beberapa kondisi dan situasi lingkungan yang tidak banyak memberikan kesempatan untuk berkembang. Faktor-faktor luar tersebut antara lain tradisi agama atau pendidikan yang diterima. Berkaitan dengan sikap keberagamaan, William James, megemukakan dua buah faktor yang memepengaruhi sikap keagmaan seseorang, yaitu :
a.                   Musibah
Seringkali musibah yang sangat serius dapat mengguncangkan seseorang dan kegoncangan tersebut seringkali memunculkan kesadaran keberagamaan. Mereka merasa mendapatkan peringatan dari Tuhan.
b.                   Kejahatan
Mereka yang hidup dalam lembah hitam umumnya mengalami guncanagan batin dan rasa berdosa. Perasaan tersebut mereka tutupi dengan perbuatan yang bersifat kompensatif, seperti melupakan sejenak dengan berfoya-foya dsb, tidak jarang pula melakukan pelampiasan dengan tindkan brutal, pemarah dan sebagainya.
Dalam buku The Variaties Of Religious Experience William James menilai secara garis besar sikap dan perilaku keagamaan itu dapat dikelompokam menjadi dua tipe yakni, orang yang sakit jiwa dan tipe orang sehat jiwa.
1)                  Tipe Orang Yang Sakit Jiwa (The Sick Soul)
Menurut William James, sikap keberagamaan orang yangg sakit jiwa ini ditemui pada mereka yang pernah mengalami latar belakang kehidupan keagamaan yang terganggu. Maksudnya orang tersebut meyakini suatu agama dan melaksanakan ajaran agama tidak didasarkan atas kematangan beragama yang berkembang secara bertahap sejak usia kanak-kanak hingga menginjak usia dewasa seperti lazimnya terjadi pada perkembangan secara normal. Mereka meyakini suatu agama dikarenakan oleh adanya penderitaan batin antara lain mungkin diakibatkan oleh musibah, konflik batin ataupun sebab lainnya yang sulit diungkapkan secara ilmiah.
Adapun ciri-ciri tindak keagamaan mereka yang mengalami kelainan kejiwaan itu umumnya cenderung menampilkan sikap:
a)   Pesimis
Dalam mengamalkan ajaran agama mereka cenderung bersikap pasrah diri kepada nasib yang telah mereka terima.
b)   Introvert
Sifat pesimis membawa mereka unuk bersikap objektif. Segala marabahaya penderitaan selalu dihubungkannya dengan kesalahan diri dan dosa yang telah diperbuat.
c)   Menyenangi paham yang ortodoks
Sebagai pengaruh sifat pesimis dan introvert kehidupan jiwanya menjadi pasif. Hal ini lebih mendorong mereka untuk menyenangi paham kagamaan yang lebih konservatif dan ortodoks.
2)                  Tipe orang yang Sehat Jiwa (Healthy-Minded-Ness)
Ciri dan sifat agama pada orang yang sehat jiwa menurut W. Starbuck yang dikemukakan oleh W. Houston Clark dalam bukunya Religion Psychology adalah:
a)   Optimis dan Gembira
Orang yang sehat jiwa menghayati segala bentuk ajaran agama dan perasaan optimis. Pahala menurut pandangannya adalah sebagai hasil jeri payah yang diberikan Tuhan . sebaliknya, segala bentuk musibah dan penderitaan yang dianggap seagai keteledoran dan kesalahan yang dibuatnya dan tidak beranggapan sebagai peringatan Tuhan terhadap dosa manusia.
b)   Ektrovet dan tak mendalam
Sikap optimis dan terbuka yang dimilki orang yang sehat jasmani ini menyebabkan mereka mudah meluapkan kesan-kesan buruk dan luka hati yang tegores sebagai akses agamis tindakannya.
c)   Menyenangi ajaran ketauhidan yang liberal
Sebagai pengaruh kepribadian yang ekstrovet maka mereka cenderung,
1.      Menyenangi teologi yang luwes dan tidak kaku.
2.      Menunjukkan tingkah laku keagamaan yang lebih bebas.
3.      Mempelopori pembelaan terhadap kepentingan agama secara sosial.
4.      Selalu berpandangan positif.
5.      Berkembang secara graduasi.

B.   Kematangan Beragama Pada Orang Dewasa dan Usia Lanjut.
Pada masa dewasa, seseorang telah memiliki tanggung jawab terhadap sistem nilai yang dipilihnya, baik sistem nilai yang bersumber pada norma-norma lain dalam kehidupan. Dengan demikian, sikap keagamaan seseorang di usia dewasa sulit untuk di ubah. Andai terjadi perubahan, maka itu telah melalui pertimbangan yang matang. Sebagai contoh adalah setelah adanya konversi dalam dirinya. Ekspresi pada masa dewasa sudah menjadi hal yang istiqomah. Artinya sudah tidak percaya ikut-ikutan lagi, tapi lebih berdasar pada kepuasan dari pelaksanaan ajaran agama. Sikap keberagamaan orang dewasa memiliki perspektif yang luas di dasarkan atas nilai-nilai yang dipilihnya. Selain itu, sikap keberagamaan ini umumnya juga dilandasi oleh pendalaman pengertian dan perluasan pemahaman tentang ajaran agama yang dianutnya.
Proses perkembangan manusia setelah dilahirkan secara fisiologis semakin lama semakin menjadi lebih tua. Usia lanjut biasanya dimuai pada usia 65 tahun. Pada usia lanjut ini, biasanya akan menghadapi berbagai persoalan. Mereka yang berada pada usia lanjut merasa dirinya sudah tidak berharga lagi atau kurang dihargai. Kehidupan beragamaan pada usia lanjut menurut hasil penelitian psikologi ternyata meningkat. Orang yang berusia antara 60-100 tahun menunjukkan bahwa ada kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan yang semakin meningkat. Menurut William James, keagamaan pada usia lanjut semakin tua semakin beribadah. Mereka sudah mulai mempersiapkan diri untuk bekal hidup di akhirat kelak.[3]
C.     Ciri-ciri Kematangan Beragama Pada Orang Dewasa dan Manula
a.    Ciri-ciri kematangan beragama pada orang dewasa
Sejalan dengan tingkat perkembangan usianya, sikap keberagamaan pada orang dewasa mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang, bukan sekedar ikut-ikutan.
2.      Cenderung bersifat realis, sehingga norma-norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam sikap dan tingkah laku.
3.      Bersikap positif terhadap ajaran-ajaran dan norma-norma agama dan berusaha untuk mempelajari dan memperdalam pemahaman keagamaan.
4.      Tingkat ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri sendiri sehingga sikap keberagamaan merupakan realisasi dari sikap hidup.
5.      Bersikap lebih terbuka dan wawasan yang lebih luas.
6.      Bersikap lebih kritis terhadap materi ajaran agama sehingga kemantapan beragama selain didasarkan atas pertimbangan pikiran, juga didasarkan atas pertimbangan hati nurani.
7.      Sikap keberagamaan cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing, sehingga terliha apa adanya pengaruh kepribadian dalam menerima, memahami serta melaksanakan ajaran agama yang diyakininya.
8.      Terlihat adanya hubungan antara sikap keberagamaan dengan kehidupan sosial, sehingga perhatian terhadap kepentingan organisasi sosial keberagamaan sudah berkembang.
b.         Ciri-ciri beragama pada manula
Secara garis besar ciri-ciri keberagamaan di usia lanjut adalah:
1.      Kehidupan keberagamaan pada usia lanjut sudah mencapai tingkat kemantapan.
2.      Meningkatnya kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan.
3.      Mulai muncul pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat secara lebih sungguh-sungguh.
4.      Sikap keberagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta antar manusia, serta sifat-sifat luhur.
5.      Timbul rasa takut pada kematian yang meningkat sejalan dengan pertambahan usia lanjutnya.
6.      Perasaan takut kepada kematian ini berdampak pada peningkatan pembentukan sikap keagamaan dan kepercayaan terhadap adanya kehidupan abadi (akhirat).[4]


BAB III
A.     KESIMPULAN
Kematangan beragama seseorang berkaitan erat dengan kematangan usia seseorang. Kematangan ini terlihat dari kemampuan seseorang untuk memahami, menghayati, serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-sehari. Pada masa dewasa, seseorang telah memiliki tanggung jawab terhadap sistem nilai yang dipilihnya, baik sistem nilai yang bersumber pada norma-norma lain dalam kehidupan. Dengan demikian, sikap keagamaan seseorang di usia dewasa sulit untuk diubah. Andai terjadi perubahan, maka itu telah melalui pertimbangan yang matang. Keagamaan pada usia lanjut yaitu semakin tua semakin tinggi ketaatannya dalam beribadah. Karena mereka sudah mulai mempersiapkan diri untuk bekal hidup di akhirat kelak.

B.     PENUTUP
Demikian makalah tentang Kematangan Beragama Orang Dewasa dan Lanjut Usia. Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, Kami mohon kritik dan saran yang membnagun dari pembaca untuk makalah kami. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi Kita semua, amin.




[1] Raharjo, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, (Semarang: Pustaka Rizki Putra 2012) halaman v
[2] Ibid halaman 55
[3] Jalaludin, Psikologi Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010) halaman 109
[4] Sururin, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2004) halam 87